Jumat, Februari 04, 2011

VALENTINE DAY MENURUT PANDANGAN ISLAM

VALENTINE DAY (HARI
BERKASIH SAYANG)
Menurut pandangan
Islam
Benarkah ia hanya kasih
sayang belaka ?
“Dan jika kamu menuruti
kebanyakan orang-orang
di muka bumi ini, nescaya
mereka akan
menyesatkanmu dari
jalan Allah. Mereka tidak
lain hanyalah mengikuti
prasangka belaka, dan
mereka tidak lain
hanyalah berdusta
(terhadap Allah) .” (Surah
Al-An’am : 116)
Hari 'kasih sayang' yang
dirayakan oleh orang-
orang Barat pada tahun-
tahun terakhir disebut
'Valentine Day' amat
popular dan merebak di
pelusuk Indonesia bahkan
di Malaysia juga. Lebih-
lebih lagi apabila
menjelangnya bulan
Februari di mana banyak
kita temui jargon-jargon
(simbol-simbol atau
iklan-iklan) tidak Islami
hanya wujud demi untuk
mengekspos
(mempromosi) Valentine.
Berbagai tempat hiburan
bermula dari diskotik
(disko/kelab malam),
hotel-hotel, organisasi-
organisasi mahupun
kelompok-kelompok
kecil; ramai yang
berlumba-lumba
menawarkan acara untuk
merayakan Valentine.
Dengan dukungan
(pengaruh) media massa
seperti surat kabar, radio
mahupun televisyen;
sebagian besar orang
Islam juga turut dicekoki
(dihidangkan) dengan
iklan-iklan Valentine Day.
SEJARAH VALENTINE:
Sungguh merupakan hal
yang ironis
(menyedihkan/tidak
sepatutnya terjadi)
apabila telinga kita
mendengar bahkan kita
sendiri 'terjun' dalam
perayaan Valentine
tersebut tanpa
mengetahui sejarah
Valentine itu sendiri.
Valentine sebenarnya
adalah seorang martyr
(dalam Islam disebut
'Syuhada') yang kerana
kesalahan dan bersifat
'dermawan' maka dia
diberi gelaran Saint atau
Santo.
Pada tanggal 14 Februari
270 M, St. Valentine
dibunuh karena
pertentangannya
(pertelingkahan) dengan
penguasa Romawi pada
waktu itu iaitu Raja
Claudius II (268 - 270 M).
Untuk mengagungkan dia
(St. Valentine), yang
dianggap sebagai simbol
ketabahan, keberanian
dan kepasrahan dalam
menghadapi cubaan
hidup, maka para
pengikutnya
memperingati kematian
St. Valentine sebagai
'upacara keagamaan'.
Tetapi sejak abad 16 M,
'upacara keagamaan'
tersebut mulai beransur-
ansur hilang dan berubah
menjadi 'perayaan bukan
keagamaan'. Hari
Valentine kemudian
dihubungkan dengan
pesta jamuan kasih
sayang bangsa Romawi
kuno yang disebut
“ Supercalis” yang jatuh
pada tanggal 15 Februari.
Setelah orang-orang
Romawi itu masuk agama
Nasrani(Kristian), pesta
'supercalis' kemudian
dikaitkan dengan upacara
kematian St. Valentine.
Penerimaan upacara
kematian St. Valentine
sebagai 'hari kasih
sayang' juga dikaitkan
dengan kepercayaan
orang Eropah bahwa
waktu 'kasih sayang' itu
mulai bersemi 'bagai
burung jantan dan betina'
pada tanggal 14 Februari.
Dalam bahasa Perancis
Normandia, pada abad
pertengahan terdapat
kata “Galentine” yang
bererti 'galant atau cinta'.
Persamaan bunyi antara
galentine dan valentine
menyebabkan orang
berfikir bahwa sebaiknya
para pemuda dalam
mencari pasangan
hidupnya pada tanggal
14 Februari. Dengan
berkembangnya zaman,
seorang 'martyr'
bernama St. Valentino
mungkin akan terus
bergeser jauh
pengertiannya(jauh dari
erti yang sebenarnya).
Manusia pada zaman
sekarang tidak lagi
mengetahui dengan jelas
asal usul hari Valentine. Di
mana pada zaman
sekarang ini orang
mengenal Valentine lewat
(melalui) greeting card,
pesta persaudaraan,
tukar kado(bertukar-
tukar memberi hadiah)
dan sebagainya tanpa
ingin mengetahui latar
belakang sejarahnya
lebih dari 1700 tahun
yang lalu.
Dari sini dapat diambil
kesimpulan bahwa
moment(hal/saat/waktu)
ini hanyalah tidak lebih
bercorak kepercayaan
atau animisme belaka
yang berusaha merosak
'akidah' muslim dan
muslimah sekaligus
memperkenalkan gaya
hidup barat dengan
kedok percintaan
(bertopengkan
percintaan), perjodohan
dan kasih sayang.
PANDANGAN ISLAM
Sebagai seorang muslim
tanyakanlah pada diri
kita sendiri, apakah kita
akan mencontohi begitu
saja sesuatu yang jelas
bukan bersumber dari
Islam ?
Mari kita renungkan
firman Allah s.w.t.:
“ Dan janglah kamu
megikuti apa yang kamu
tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya
pendengaran,
penglihatan, dan hati,
semuanya itu akan
diminta pertanggung
jawabnya ”. (Surah Al-
Isra : 36)
Dalam Islam kata “tahu”
berarti mampu
mengindera(mengetahui)
dengan seluruh panca
indera yang dikuasai oleh
hati. Pengetahuan yang
sampai pada taraf
mengangkat isi dan
hakikat sebenarnya.
Bukan hanya sekedar
dapat melihat atau
mendengar. Bukan pula
sekadar tahu sejarah,
tujuannya, apa, siapa,
kapan(bila), bagaimana,
dan di mana, akan tetapi
lebih dari itu.
Oleh kerana itu Islam
amat melarang
kepercayaan yang
membonceng
(mendorong/mengikut)
kepada suatu
kepercayaan lain atau
dalam Islam disebut
Taqlid.
Hadis Rasulullah s.a.w:“
Barang siapa yang
meniru atau mengikuti
suatu kaum (agama)
maka dia termasuk kaum
(agama) itu ”.
Firman Allah s.w.t. dalam
Surah AL Imran (keluarga
Imran) ayat
85 : “Barangsiapa yang
mencari agama selain
agama Islam, maka
sekali-sekali tidaklah
diterima (agama itu)
daripadanya, dan dia di
akhirat termasuk orang-
orang yang rugi”.
HAL-HAL YANG HARUS
DIBERI PERHATIAN:-
Dalam masalah Valentine
itu perlu difahami secara
mendalam terutama dari
kaca mata agama kerana
kehidupan kita tidak
dapat lari atau lepas dari
agama (Islam) sebagai
pandangan hidup. Berikut
ini beberapa hal yang
harus difahami di dalam
masalah 'Valentine Day'.
1. PRINSIP / DASAR
Valentine Day adalah
suatu perayaan yang
berdasarkan kepada
pesta jamuan 'supercalis'
bangsa Romawi kuno di
mana setelah mereka
masuk Agama Nasrani
(kristian), maka berubah
menjadi 'acara
keagamaan' yang
dikaitkan dengan
kematian St. Valentine.
2. SUMBER ASASI
Valentine jelas-jelas
bukan bersumber dari
Islam, melainkan
bersumber dari rekaan
fikiran manusia yang
diteruskan oleh pihak
gereja. Oleh kerana itu
lah , berpegang kepada
akal rasional manusia
semata-mata, tetapi jika
tidak berdasarkan
kepada Islam(Allah),
maka ia akan tertolak.
Firman Allah swt dalam
Surah Al Baqarah ayat
120 : “Orang-orang Yahudi
dan Nasrani tidak akan
senang kepada kamu
hingga kamu mengikuti
agama mereka.
Katakanlah :
“Sesungguhnya petunjuk
Allah itulah petunjuk
(yang sebenarnya) ”. Dan
sesungguhnya jika kamu
mengikuti kemahuan
mereka setelah
pengetahuan datang
kepadamu, maka Allah
tidak lagi menjadi
pelindung dan penolong
bagimu ”.
3. TUJUAN
Tujuan mencipta dan
mengungkapkan rasa
kasih sayang di persada
bumi adalah baik. Tetapi
bukan seminit untuk
sehari dan sehari untuk
setahun. Dan bukan pula
bererti kita harus
berkiblat kepada
Valentine seolah-olah
meninggikan ajaran lain
di atas Islam. Islam
diutuskan kepada
umatnya dengan
memerintahkan umatnya
untuk berkasih sayang
dan menjalinkan
persaudaraan yang
abadi di bawah naungan
Allah Yang Maha
Pengasih dan Penyayang.
Bahkan Rasulullah s.a.w.
bersabda :“Tidak beriman
salah seorang di antara
kamu sehingga ia cinta
kepada saudaranya
seperti cintanya kepada
diri sendiri ”.
4. OPERASIONAL
Pada umumnya acara
Valentine Day diadakan
dalam bentuk pesta pora
dan huru-hara.
Perhatikanlah firman
Allah
s.w.t.:“Sesungguhnya
pemboros-pemboros itu
adalah saudara-saudara
syaithon dan syaithon
itu adalah sangat ingkar
kepada Tuhannya ”.
(Surah Al Isra : 27)
Surah Al-Anfal ayat 63
yang berbunyi : “…
walaupun kamu
membelanjakan semua
(kekayaan) yang berada
di bumi, niscaya kamu
tidak dapat
mempersatukan hati
mereka, akan tetapi Allah
telah mempersatukan
hati mereka.
Sesungguhnya Dia (Allah)
Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana ”.
Sudah jelas ! Apapun
alasannya, kita tidak
dapat menerima
kebudayaan import dari
luar yang nyata-nyata
bertentangan dengan
keyakinan (akidah) kita.
Janganlah kita mengotori
akidah kita dengan dalih
toleransi dan setia kawan.
Kerana kalau dikata
toleransi, Islamlah yang
paling toleransi di dunia.
Sudah berapa jauhkah
kita mengayunkan
langkah mengelu-elukan
(memuja-muja) Valentine
Day ? Sudah semestinya
kita menyedari sejak dini
(saat ini), agar jangan
sampai terperosok lebih
jauh lagi. Tidak perlu kita
irihati dan cemburu
dengan upacara dan
bentuk kasih sayang
agama lain. Bukankah
Allah itu Ar Rahman dan
Ar Rohim. Bukan hanya
sehari untuk setahun. Dan
bukan pula dibungkus
dengan hawa nafsu.
Tetapi yang jelas kasih
sayang di dalam Islam
lebih luas dari semua itu.
Bahkan Islam itu
merupakan 'alternatif'
terakhir setelah manusia
gagal dengan sistem-
sistem lain.
Lihatlah kebangkitan
Islam!!! Lihatlah
kerosakan-kerosakan
yang ditampilkan oleh
peradaban Barat baik
dalam media massa,
televisyen dan
sebagainya. Karena
sebenarnya Barat hanya
mengenali perkara atau
urusan yang bersifat
materi. Hati mereka
kosong dan mereka
bagaikan 'robot' yang
bernyawa.
MARI ISTIQOMAH
(BERPEGANG TEGUH)
Perhatikanlah Firman
Allah :
“ …dan sesungguhnya jika
kamu mengikuti
keinginan mereka setelah
datang ilmu kepadamu,
sesungguhnya kamu
kalau begitu termasuk
golongan orang-orang
yang zalim”.
Semoga Allah
memberikan kepada kita
hidayah Nya dan
ketetapan hati untuk
dapat istiqomah dengan
Islam sehingga hati kita
menerima kebenaran
serta menjalankan
ajarannya.
Tujuan dari semua itu
adalah agar diri kita selalu
taat sehingga dengan izin
Allah s.w.t. kita dapat
berjumpa dengan para
Nabi baik Nabi Adam
sampai Nabi Muhammad
s.a.w.
Firman Allah s.w.t.:
“Barangsiapa yang taat
kepada Allah dan
RasulNya maka dia akan
bersama orang-orang
yang diberi nikmat dari
golongan Nabi-Nabi, para
shiddiq (benar imannya),
syuhada, sholihin (orang-
orang sholih), mereka
itulah sebaik-baik teman ”.
Berkata Peguam Zulkifli
Nordin (peguam di
Malaysia) di dalam kaset
'MURTAD' yang
mafhumnya :-
"VALENTINE" adalah
nama seorang paderi.
Namanya Pedro St.
Valentino. 14 Februari
1492 adalah hari
kejatuhan Kerajaan Islam
Sepanyol. Paderi ini
umumkan atau
isytiharkan hari tersebut
sebagai hari 'kasih
sayang' kerana pada nya
Islam adalah ZALIM!!!
Tumbangnya Kerajaan
Islam Sepanyol dirayakan
sebagai Hari Valentine.
Semoga Anda Semua
Ambil Pengajaran!!! Jadi..
mengapa kita ingin
menyambut Hari
Valentine ini kerana hari
itu adalah hari jatuhnya
kerajaan Islam kita di
Sepanyol..

Selasa, Februari 01, 2011

SIFAT SIFAT RASULULLAH SAW MENURUT ALQUR'AN

KH. Jalaluddin
Rakhmat –
Saya ingin memulai tulisan
ini dengan menyampaikan
dua buah hadits tentang
kecintaan kepada Rasulullah
saw. Pertama, hadits yang
masyhur diriwayatkan dalam
kitab-kitab ahli sunnah, di
antaranya dalam Al-Targhib
wal Takhib, sebuah kitab
hadits yang sangat populer
di antara kita. Kedua, hadits
yang dikutip dari Bihar Al-
Anwar, kitab hadits yang
cukup besar dan menjadi
rujukan mazhab Ahlul Bayt.
Hadits yang pertama
menceritakan bahwa pada
suatu hari ketika Rasulullah
saw sedang berbincang-
bincang dengan para
sahabatnya, seorang
pemuda datang mendekati
Rasul sambil berkata, “Ya
Rasulullah, aku
mencintaimu.” Lalu
Rasulullah saw berkata:
“Kalau begitu, bunuh
bapakmu!” Pemuda itu pergi
untuk melaksanakan perintah
Nabi. Kemudian Nabi
memanggilnya kembali
seraya berkata, “Aku tidak
diutus untuk menyuruh
orang berbuat dosa.” Aku
hanya ingin tahu, apa betul
kamu mencintai aku dengan
kecintaan yang
sesungguhnya?”
Tidak lama setelah itu,
pemuda ini jatuh sakit dan
pingsan. Rasulullah saw
datang menjenguknya.
Namun pemuda itu masih
dalam keadaan tidak sadar.
Nabi berkata, “Nanti kalau
anak muda ini bangun,
beritahu aku. ” Rasululah saw
kemudian kembali ke
tempatnya. Lewat tengah
malam pemuda itu bangun.
Yang pertama kali ia
tanyakan ialah apakah
Rasulullah saw telah
berkunjung kepadanya.
Diceritakanlah kepada
pemuda itu bahwa Rasulullah
saw bukan saja berkunjung,
tapi beliau juga berpesan
agar diberitahu jika pemuda
itu bangun. Pemuda itu
berkata, “Tidak, jangan
beritahukan Rasulullah saw.
Bila Rasulullah harus pergi
pada malam seperti ini, aku
kuatir orang-orang Yahudi
akan mengganggunya di
perjalanan. ” Segera setelah
itu, pemuda itu
menghembuskan nafasnya
yang terakhir.
Pagi hari usai shalat subuh,
Rasulullah saw diberitahu
tentang kematian pemuda
itu. Rasul datang melayat
jenazah pemuda itu dan
berdo ’a dengan do’a yang
pendek tetapi sangat
menyentuh hati, “Ya Allah,
sambutlah Thalhah di sisi-
Mu, Thalhah tersenyum
kepada-Mu dan Engkau
tersenyum kepadanya. ”
Dengan hal itu Nabi
menggambarkan kepada
kita, bahwa orang yang
mencintainya akan dido ’akan
oleh Nabi untuk berjumpa
dengan Allah swt. Allah akan
ridha kepadanya dan dia
ridha kepada Allah,
Radhiyyatan Mardhiyyah. Dia
tersenyum melihat Allah dan
Allah tersenyum melihatnya.
Hadits yang kedua
mengisahkan seorang
pedagang minyak goreng di
Madinah. Setiap kali dia
hendak pergi, termasuk pergi
ke pasar, dia selalu melewati
rumah Rasulullah saw. Dia
selalu singgah di tempat itu
sampai dia puas
memandang wajah Rasul.
Setelah itu ia pergi ke pasar.
Suatu saatetelah melepaskan
rindunya kepada Rasul,
seperti biasanya ia pergi ke
pasar. Tapi tidak berapa lama
setelah itu, dia datang lagi.
Nabi terkejut sehingga
bertanya, “Kenapa kau balik
lagi?” Ia menjawab, “Ya
Rasulullah, setelah saya
sampai di pasar hati saya
gelisah. Saya ingin kembali
lagi. Izinkan saya
memandang Engkau
sebentar saja untuk
memuaskan kerinduan
saya. ” Kemudian Rasul
berbincang-bincang dengan
orang itu.
Tidak lama setelah itu Nabi
tidak lagi melihat tukang
minyak itu lewat di depan
rumahnya. Berhari-hari
orang itu tidak lagi kelihatan
batang hidungnya di depan
Rasulullah saw. Lalu Rasul
mengajak sahabat-
sahabatnya untuk
menjenguk dia. Berangkatlah
mereka ke pasar dan
mendapat kabar bahwa
orang itu telah meninggal
dunia. Rupanya pertemuan
sampai dua kali waktu itu
merupakan isyarat bahwa
dia tidak bisa lagi
memandang wajah
Rasulullah saw.
Rasul bertanya kepada
orang-orang di pasar,
“ Bagaimana akhlak orang
itu?” Mereka berkata, “Orang
itu pedagang yang sangat
jujur. Cuma ada sedikit saja,
orang ini senang
perempuan. ” Kemudian
Rasul berkata, “Sekiranya
orang itu dalam dagangnya
agak lancung sedikit, Allah
akan mengampuni dosanya
karena kecintaannya
kepadaku. ” Tetapi orang itu
sangat jujur dan
kecintaannya kepada Rasul
dibuktikan dalam
kejujurannya di dalam
berdagang.
Dua hadits di atas
menceritakan kepada kita
tentang pentingnya
mencintai Rasulullah saw.
Sudah sering kita mendengar
hadits yang berbunyi,
“Belum beriman kamu
sebelum aku lebih kamu
cintai daripada dirimu, anak-
anakmu, dan seluruh ummat
manusia. ”
Kita semua diperintahkan
mencintai Rasulullah saw.
Mencintai Rasul merupakan
bagian dari seluruh
bangunan keislaman kita.
Oleh karena itu, dahulu para
ulama melakukan berbagai
cara agar kecintaan kepada
Nabi terus-menerus
dibangkitkan. Di antaranya
dengan menghias majelis-
majelis mereka dengan
bacaan shalawat,
mengadakan peringatan
maulid, dan mengungkapkan
kecintaan mereka dengan
puisi-puisi, sehingga
sepanjang sejarah sudah
terkumpul ribuan puisi yang
ditulis untuk
mengungkapkan kecintaan
kepada Rasululah saw.
Beberapa waktu yang lalu di
masjid Asy-Syifâ, Universitas
Diponegoro, saya mengajak
semua orang untuk kembali
membangkitkan kecintaan
kepada junjungan kita
Rasulullah saw. Ada orang
yang bertanya kepada saya:
“ Saya ingin mencintai
Rasulullah, tapi apa yang
harus saya lakukan supaya
kecintaan itu tertanam di
dalam hati saya. Kalau saya
ini mencintai seorang
perempuan, saya bayangkan
wajahnya, rambutnya, dan
bibirnya supaya tumbuh
kerinduan saya kepada
perempuan itu. Apakah saya
harus membayangkan
wajah Rasululah saw,
supaya saya bisa men-
cintainya ?” Waktu itu saya
menjawab: “Inilah bencana
paling besar yang menimpa
kita sekarang ini. Kita hanya
bisa mencintai sesuatu yang
bisa dilihat, diraba, dan
disaksikan. Kita ini sama
dengan orang-orang kafir
yang disebutkan dalam Al-
Qur ’an. Mereka hanya
mencintai yang zhahir saja,
mata mereka tidak dapat
menembus hal-hal yang
bathiniyah.
Jadi, kalau kita mau
mencintai, maka cinta kita
hanya cinta fisikal saja, cinta
yang sensual. Kita tidak
dididik untuk mencintai
orang bukan karena
tubuhnya. Di dalam ilmu
percintaan, cinta karena
tubuh adalah tahapan cinta
yang paling rendah. Para ahli
jiwa mengatakan, cinta
pertama pada anak-anak
adalah cinta pada sesuatu
yang bisa dilihat. Menurut
Sigmund Freud, pertama kali
seseorang mencintai ialah
ketika dia merasakan
kenikmatan pada waktu
menyusu kepada ibunya.
Itulah cinta yang paling
rendah. Makin dewasa orang
itu, makin abstrak atau makin
tidak kelihatan cintanya.
Sayang, tampaknya
kedewasaan kita ini lambat.
Salah satu ciri
ketidakdewasaan kita adalah
bila kita mencintai sesuatu,
itu dikarenakan oleh hal-hal
yang kongkret dan bisa
dilihat. Kita cinta kepada
gunung, karena
kehijauannya yang bisa
dilihat dan kesejukkan
anginnya yang bisa
dirasakan. Bukan karena
keanggunannya dan misteri
yang ada dibalik gunung itu.
Kalau kita menceritakan laut,
yang kita ceritakan adalah
gelombangnya, batu-batu
karangnya, dan ikan-ikannya.
Tidak kita ceritakan keluasan
samudera itu,
kedahsyatannya, dan
pengaruhnya kepada jiwa
kita. Sebab, semua hal itu
terlalu abstrak dan kita
terbiasa dengan hal-hal yang
kongkret.
Ketika Pemilu, kita memilih
partai bukan program-
programnya. Karena
program bersifat abstrak,
tidak kelihatan. Kita
jugamemilih bukan karena
perilaku para politisinya,
karena perilaku itu tidak
kelihatan.
Tapi saya tidak akan
menceritakan hal itu, saya
akan membawa Anda
mencintai Rasulullah saw
dengan kecintaan yang lebih
tinggi tingkatnya. Bukan
kecintaan fisikal atau
jasmaniah. Kecintaan
jasmaniah itu adalah
kecintaan ala ABG, yang tidak
layak buat orang-orang
dewasa seperti kita.
Kalau kita buka ayat Al-
Qur ’an, ketika Allah berkisah
tentang Rasulullah saw, tidak
pernah diceritakan sifat-sifat
jasmaniah Rasulullah saw.
Al-Qur ’an selalu
menceritakan sifat-sifat
ruhaniah Rasulullah saw.
Bercerita tentang akhlak
Rasulullah saw, bukan
penampilan fisiknya.
Berbeda dengan para
sahabat. Kalau sahabat
bercerita tentang Rasulullah
saw sering berupa
penampilan fisiknya.
Misalnya diceritakan bahwa
Rasul itu kalau tertawa
sampai kelihatan gusinya.
Atau diceritakan tentang
tetesan keringat Rasul. Siti
Aisyah pernah terpesona
dengan tetesan keringat di
dahi Rasul, sampai dia
berkata: “Ya Rasulullah, ingin
saya bacakan sebuah puisi
kepadamu. ” Lalu Siti Aisyah
menuliskan puisinya dengan
mengutip syair seorang Arab
tentang tetesan keringatnya.
Saya tidak bermaksud
mengatakan bahwa Siti
Aisyah hanya mencintai
Rasulullah saw karena
jasmaninya.
Saya ingin mengetengahkan
satu ayat Al-Qur ’an. Ada
riwayat yang agak lucu
tentang ayat ini. Katanya
setelah Al-Qur ’an terkumpul
dan tertulis pada zaman Abu
Bakar, seseorang berkata
bahwa ada satu ayat yang
hilang. Pada waktu itu,
seseorang yang
mengumpul-kan ayat harus
membawa saksi satu orang.
Sehingga jumlah pengumpul
ayat ada dua orang.
Seseorang berbicara, “Ada
yang terlewat, satu ayat
belum masuk ke situ. ” Dia
hanya seorang diri, tidak
mempunyai saksi. Namanya
Khuzaimah bin Tsabit. Lalu
orang-orang berkata,
“ Kesaksian Khuzaimah bin
Tsabit dihitung menjadi dua,
karena hanya dia yang
mengetahui ayat Al-Qur ’an
ini.”
Lepas dari persoalan hadits
ini shahih atu tidak, ayat itu
bercerita tentang akhlak
Rasullullah saw dan ayat itu
sering menjadi wirid kita
semua. Mungkin ini juga
merupakan cara agar kita
mampu memasukkan akhlak
itu dalam kehidupan kita.
Ayat itu berbunyi, “Laqad
Jâ’akum Rasûlum Min
Anfusikum…” (QS Al-Taubah
128). Menurut Fakhrur Râzi,
kata anfusikum menurut
qira ’at nabi saw, qira’at
Fatimah as, dan qira’at
Aisyah dari Ibnu Abbas as
harus dibaca Anfasikum.
Dibacanya difathahkan bukan
didhammahkan. Hal ini akan
kita ceritakan kemudian.
Fakhrur Razi menjelaskan
ada empat sifat Nabi yang
tergambar dalam Surat At-
Taubah ayat 128. Pertama,
Min Anfusikum, dari
kalanganmu sendiri. Nabi
berasal dari sesama manusia
seperti kamu. Nabi yang
datang itu bukanlah Nabi
yang datang sebagai
makhluk ghaib, bukan pula
Superman, tapi Nabi yang
datang dari tengah-tengah
manusia. Bahkan Nabi
diperintahkan untuk berkata
bahwa Nabi adalah manusia
seperti kita semua, seperti
dalam ayat “Qul innamâ anâ
basyârum mitslukum…” (QS.
Al-Kahfi 110) Nabi adalah
manusia biasa. Kalau ia
berjalan, ada bayang-bayang
badannya. Kalau terkena
panas matahari, berkeringat
kulitnya. Kalau terkena anak
panah, berdarah tubuhnya.
Ia bukan manusia istimewa
dari segi jasmaniahnya, ia
pun merasakan lapar dan
dahaga. Al-Qur ’an
menegaskan bahwa
kehidupan Nabi itu sama
seperti kehidupan manusia
biasa. Nabi dapat merasakan
kepedihan dan penderitaan
seperti manusia biasa yang
mendapatkan musibah.
Dalam qira’at Min Anfasikum,
diterangkan bahwa kata
Anfas mengandung arti yang
paling mulia. Jadi ayat ini
berarti, “Sudah datang di
antara kamu seorang Rasul
yang paling mulia. ” Artinya
Rasulullah diakui
kemuliaannya, bahkan
sebelum Rasul membawa
ajaran Islam. Dia adalah
orang yang paling baik di
tengah-tengah
masyarakatnya dilihat dari
segi akhlaknya. Sebagian
orang ada yang
menyebutkan bahwa Rasul
berasal dari kabilah yang
paling baik. Jadi sifat pertama
nabi adalah paling mulia
akhlaknya, sampai orang-
orang di sekitarnya memberi
gelar Al-Amîn, orang yang
terpercaya.
Sifat kedua Nabi ialah, berat
hatinya melihat penderitaan
umat manusia. Para ahli
tafsir mengatakan yang
dimaksud dengan berat hati
Nabi ialah kalau manusia
menemukan hal-hal yang
tidak enak. Dalam riwayat
yang lain, yang diartikan
dengan berat hati Rasul ialah
jika orang Islam berbuat
dosa kepada Allah. Dalam
sebuah hadits, diriwayatkan
bahwa sampai sekarang
Rasulullah masih dapat
melihat perbuatan-perbuatan
kita dan Rasul akan
menderita jika melihat kita
berbuat dosa. Karena beliau
sangat ingin supaya kita
memperoleh petunjuk Allah.
Bahkan Rasul sampai
bersujud di hadapan Allah
agar diizinkan untuk dapat
memberi syafaat kepada
umatnya.
Jalaluddin Rumi bercerita
dalam salah satu syairnya
yang dibukukan dalam Al-
Matsnawi tentang Rasulullah
saw. Pada suatu hari di
mesjid, Rasul kedatangan
serombongan kafir yang
meminta untuk bertamu.
Mereka berkata, “Kami ini
datang dari jarak yang jauh,
kami ingin bertamu kepada
Engkau, Ya Rasulullah. ” Lalu
Rasul mengantarkan para
tamu tersebut kepada para
sahabatnya. Salah seorang
kafir yang bertubuh besar
seperti raksasa tertinggal di
mesjid, karena tidak ada
seorang sahabat pun yang
mau menerimanya. Dalam
syair itu disebutkan, ia
tertinggal di mesjid seperti
tertinggalnya ampas di
dalam gelas. Mungkin para
sahabat takut menjamu dia,
karena membayangkan
harus menyediakan wadah
yang sangat besar.
Lalu Rasul membawa dan
menempatkannya di sebuah
rumah. Dia diberi jamuan
susu dengan mendatangkan
tiga ekor kambing dan
seluruh susu itu habis
diminumnya. Dia juga
menghabiskan makanan
untuk delapan belas orang,
sampai orang yang
ditugaskan melayani dia
jengkel. Akhirnya petugas itu
menguncinya di dalam.
Tengah malam, orang kafir
itu menderita sakit perut. Dia
hendak membuka pintu tapi
pintu itu terkunci. Ketika rasa
sakit tidak tertahankan lagi,
akhirnya orang itu
mengeluarkan kotoran di
rumah itu.
Setelah itu, ia merasa malu
dan terhina. Seluruh
perasaan bergolak dalam
pikirannya. Dia menunggu
sampai menjelang subuh
dan berharap ada orang
yang akan membukakan
pintu. Pada saat subuh dia
mendengar pintu itu terbuka,
segera saja dia lari keluar.
Yang membuka pintu itu
adalah Rasulullah saw.
Rasul tahu apa yang terjadi
kepada orang kafir itu. Ketika
Rasul membuka pintu itu,
Rasul sengaja bersembunyi
agar orang kafir itu tidak
merasa malu untuk
meninggalkan tempat
tersebut.
Ketika orang kafir itu sudah
pergi jauh, dia teringat
bahwa azimatnya tertinggal
di rumah itu. Jalaluddin Rumi
berkata, “Kerasukan
mengalahkan rasa malunya.
Keinginan untuk
memperoleh barang yang
berharga menghilangkan
rasa malunya. ” Akhirnya dia
kembali ke rumah itu.
Sementara itu, seorang
sahabat membawa tikar
yang dikotori oleh orang kafir
itu kepada Rasul, “Ya
Rasulullah, lihat apa yang
dilakukan oleh orang kafir
itu !” Kemudian Rasul berkata,
“Ambilkan wadah, biar aku
bersihkan.” Para sahabat
meloncat dan berkata, “Ya
Rasulullah, engkau adalah
Sayyidul Anâm. Tanpa
engkau tidak akan diciptakan
seluruh alam semesta ini.
Biarlah kami yang
membersihkan kotoran ini.
Tidak layak tangan yang
mulia seperti tanganmu
membersihkan kotoran ini.”
“Tidak,” kata Rasul, “ini
adalah kehormatan bagiku.”
Para sahabat berkata, “Wahai
Nabi yang namanya
dijadikan sumpah
kehormatan oleh Allah, kami
ini diciptakan untuk
berkhidmat kepadamu. Kalau
engkau melakukan ini, maka
apalah artinya kami ini.”
Begitu orang kafir itu datang
ke tempat itu, dia melihat
tangan Rasulullah saw yang
mulia sedang membersihkan
kotoran yang
ditinggalkannya. Orang kafir
tidak sanggup menahan
emosinya. Ia memukul-
mukul kepalanya sambil
berkata, “Hai kepala yang
tidak memiliki pengetahuan.”
Dia memukul-mukul
dadanya sambil berkata, “Hai
hati yang tidak pernah
memperoleh berkas cahaya.”
Dia bergetar ketakutan
menahan rasa malu yang
luar biasa. Kemudi-an Rasul
menepuk bahunya
menenangkan dia. Singkat
cerita, orang kafir itu masuk
Islam.
Boleh jadi cerita Jalaluddin
Rumi ini adalah sebuah
metafora. Suatu perlambang
bahwa kedatangan Rasul
adalah untuk membersihkan
kotoran dan noda-noda yang
ada pada diri kita. Betapa
banyaknya kaum muslimin
menodai rumah Rasul
dengan kemaksiatan dan
akhlak yang buruk. Kita ini
sama dengan orang kafir
yang menaburkan kotoran di
rumah Rasul yang suci.
Bedanya ialah, kita percaya
karena kecintaan Nabi kepada
kita, Rasul akan mengulurkan
syafaatnya kepada kita. Derita
kita adalah juga derita Rasul.
Karena itu, jangan ragu-ragu
untuk datang meminta
syafaatnya dan bersimpuh di
hadapan Nabi sambil
mengucapkan, “Yâ Abal
Qâsim, Yâ Rasûlallâh, Yâ
Wajîhan ‘Indallâh, Isyfa’lanâ
‘Indallâh.”
Terlalu banyak kotoran yang
kita taburkan di rumah Nabi
yang mulia. Seperti tertulis
dalam sebuah puisi Iqbal.
Ketika sakit keras, Iqbal
pernah berdo ’a: “Ya Allah
kalau Engkau adili aku di hari
kiamat nanti, jangan
dampingkan aku di samping
Nabi Al-Musthafa. Karena aku
malu mengaku sebagai
umatnya padahal hidupku
bergelimang dalam dosa.”
Kita sebenarnya harus malu
seperti malunya orang kafir
itu. Kita datang berziarah
kepada Rasul di bulan Maulid
ini dengan membawa
seluruh kemaksiatan. Kita
sudah banyak mengotori
rumah Rasul yang mulia
dengan akhlak yang tercela.
Tapi kita percaya bahwa Nabi
mendengar jeritan kita. Kita
sadari kejelekan akhlak-akhlak
kita dan kita malu bertemu
dengan Rasul dengan
membawa dosa. Tetapi kita
percaya bahwa kita
menantikan tepukan tangan
Rasul untuk menentramkan
batin kita dan mengharapkan
syafaatnya.
Sifat ketiga Rasullullah saw,
ialah bahwa ia sangat ingin
agar kaum muslimin
memperoleh kebaikan. Ia
ingin memberikan petunjuk
kepada umatnya. Keinginan
untuk memberikan petunjuk
kepada kita begitu besar,
sehingga Rasul bersedia
memikul seluruh penderitaan
dalam berdakwah.
Adapun sifat keempat
Rasulullah saw, ialah bahwa
ia sangat penyantun dan
penyayang kepada kaum
mukminin. Menurut para ahli
tafsir, belum pernah Allah
menghimpunkan dua nama-
Nya sekaligus pada nama
seorang nabi, kecuali kepada
Nabi Muhammad saw. Nama
yang dimaksud ialah nama
Raûfur Rahîm.
Raûfur Rahîm itu adalah
nama Allah. Nama itu pun
dinisbahkan Allah kepada
Rasulullah. Menurut sebagian
ulama, Raûfun artinya
penyayang dan Rahîm
artinya pengasih. Jika kedua
kata itu digabungkan dalam
satu tempat, maka artinya
berbeda. Menurut sebagian
ahli tafsir, nama itu berarti
sifat Nabi yang penyayang
tidak hanya kepada orang
yang taat kepadanya, tapi
juga penyayang kepada
orang yang berbuat dosa.
Nabi melihat amal kita setiap
hari. Beliau berduka cita
melihat amal-amal kita yang
buruk.
Dalam riwayat yang lain,
Rasul itu Raûfun Liman Râ’ah,
Rahîmun Liman Lam Yarâh.
Artinya, Rasul itu penyayang
kepada orang yang pernah
berjumpa dengannya dan
juga penyayang kepada
orang yang tidak pernah
berjumpa dengannya. Suatu
hari Rasul berkata, “Alangkah
rindunya aku untuk
berjumpa dengan ikhwânî.”
Para sahabat bertanya,
“ Bukankah kami ini
ikhwânuka.” “Tidak,” jawab
Rasul, “kalian ini sahabat-
sahabatku. Saudara-
saudaraku adalah orang
yang tidak pernah berjumpa
denganku, tapi
membenarkanku dan
beriman kepadaku. ” Rasul
sangat sayang kepada orang
yang tidak pernah berjumpa
dengan Rasul tetapi beriman
kepadanya.
Di dalam Tafsir Al-Dûrrul
Mantsûr, diriwayatkan
sebagai berikut,
“ Berbahagialah orang yang
beriman kepadaku, padahal
tidak pernah berjumpa
denganku. ” Rasul menye-
butnya sampai tiga kali. Rasul
juga sayang bukan hanya
kepada orang Islam saja,
tetapi juga kepada orang
kafir.
Saya akan menceritakan
hadits lain. Diriwayatkan
bahwa ketika Rasul
berdakwah di Thaif, Rasul
dilempari batu sehingga
tubuhnya berdarah.
Kemudian Rasul berlindung
di kebun Uthbah bin Rabi ’ah.
Rasul berdo’a dengan do’a
yang sangat mengharukan.
Rasul memanggil Allah
dengan ucapan, “Wahai
yang melindungi orang-
orang yang tertindas, kepada
siapa Engkau akan serahkan
aku, kepada saudara jauh
yang mengusir aku ?”
Kemudian datang malaikat
Jibril seraya berkata: “Ya
Muhammad, ini Tuhanmu
menyampaikan salam
kepadamu. Dan ini malaikat
yang mengurus gunung-
gunung, diperintah Allah
untuk mematuhi seluruh
perintahmu. Dan dia tidak
akan melakukan apapun
kecuali atas perintahmu. ”
Lalu malaikat dan gunung
berkata kepada Nabi, “Allah
memerintahkan aku untuk
berkhidmat kepadamu. Jika
engkau mau, biarlah aku
jatuhkan gunung itu kepada
mereka. ” Namun Nabi
berucap, “Hai malaikat dan
gunung, aku datang kepada
mereka karena aku berharap
mudah-mudahan akan
keluar dari keturunan mereka
orang-orang yang
mengucapkan kalimat Lâilâha
illallâh.” Nabi tidak mau
menurunkan azab kepada
mereka. Nabi berharap kalau
pun mereka tidak beriman,
keturunan mereka nanti akan
beriman. Kemudian berkata
para malaikat dan gunung,
“Engkau seperti disebut oleh
Tuhanmu, sangat penyantun
dan penyayang. ”
Kasih sayangnya tidak
terbatas kepada umatnya.
Perasaan cinta kita kepada
Nabi tidak sebanding dengan
besarnya kecintaan Nabi
kepada kita semua. Kecintaan
Nabi terhadap orang-orang
yang menderita begitu besar.
Menurut Siti Aisyah, Nabi
tidak makan selama tiga hari
berturut-turut dalam keadaan
kenyang. Ketika Aisyah
bertanya apa sebabnya, Nabi
menjawab, “Selama masih
ada ahli shufah —orang-
orang miskin yang kelaparan
di sekitar mesjid — saya tidak
akan makan kenyang.” Dan
itu tidak cukup hanya pada
saat itu, Nabi juga
memikirkan umatnya di
kemudian hari. Beliau
khawatir ada umatnya yang
makan kenyang sementara
tetangga di sekitarnya
kelaparan.
Karena itu, Nabi berpesan,
“ Tidak beriman kamu, jika
kamu tidur dalam keadaan
kenyang sementara
tetanggamu kelaparan. ” Nabi
pun mengatakan, “Orang
yang senang membantu
melepaskan penderitaan
orang lain, akan senantiasa
mendapat bantuan Allah
swt. ” Empat sifat Rasulullah
kepada umatnya, yang
sangat luar biasa.
Marilah kita kenang kecintaan
Rasulullah yang agung
kepada kita dan
bandingkanlah apa yang bisa
membuktikan kecintaan kita
kepadanya. Sekarang kita
bertanya, sudah sejauh
mana kita mengikuti sunnah
Rasulullah saw? Dapatkah
akhlak kita seperti akhlak Nabi
sebagaimana yang disebut
dalam surat Al-Taubah 128?
Bagai-mana kita dapat ikut
merasakan penderitaan
orang-orang di sekitar kita?
Bagaimana kita menjadi
orang yang berusaha agar
orang- orang lain itu hidup
bahagia dan memperoleh
petunjuk Allah? Bagaimana
kita menumbuh-kan sikap
Raûfur Rahîm di dalam diri
kita seperti Rasulullah saw
contohkan kepada kita?
Marilah kita sebarkan
kecintaan kepada Rasulullah
saw di dalam diri kita,
keluarga kita, dan pada
masyarakat di sekitar kita.
Akhirul kalam, yang harus
selalu kita ingatkan pada diri
kita adalah misi Rasulullah
yang paling utama, yaitu
misi akhlak yang mulia. Tidak
ada artinya menisbahkan diri
kita kepada Rasulullah saw
tanpa memelihara akhlak
yang mulia. Hendaknya kita
selalu malu untuk
mengucapkan shalawat
kepada junjungan kita,
sementara di punggung kita
penuh dengan dosa dan
maksiat. Kita telah mengotori
rumah Rasulullah saw
dengan akhlak buruk kita. ***
(sumber: Buletin Al-Tanwir:
Nomor 119 Edisi 15 Juli 1998)
Diambili dari: jalal-center.com

Sifat sifat Rasulullah saw menurut Alqur'an

KH. Jalaluddin
Rakhmat –
Saya ingin memulai tulisan
ini dengan menyampaikan
dua buah hadits tentang
kecintaan kepada Rasulullah
saw. Pertama, hadits yang
masyhur diriwayatkan dalam
kitab-kitab ahli sunnah, di
antaranya dalam Al-Targhib
wal Takhib, sebuah kitab
hadits yang sangat populer
di antara kita. Kedua, hadits
yang dikutip dari Bihar Al-
Anwar, kitab hadits yang
cukup besar dan menjadi
rujukan mazhab Ahlul Bayt.
Hadits yang pertama
menceritakan bahwa pada
suatu hari ketika Rasulullah
saw sedang berbincang-
bincang dengan para
sahabatnya, seorang
pemuda datang mendekati
Rasul sambil berkata, “Ya
Rasulullah, aku
mencintaimu.” Lalu
Rasulullah saw berkata:
“Kalau begitu, bunuh
bapakmu!” Pemuda itu pergi
untuk melaksanakan perintah
Nabi. Kemudian Nabi
memanggilnya kembali
seraya berkata, “Aku tidak
diutus untuk menyuruh
orang berbuat dosa.” Aku
hanya ingin tahu, apa betul
kamu mencintai aku dengan
kecintaan yang
sesungguhnya?”
Tidak lama setelah itu,
pemuda ini jatuh sakit dan
pingsan. Rasulullah saw
datang menjenguknya.
Namun pemuda itu masih
dalam keadaan tidak sadar.
Nabi berkata, “Nanti kalau
anak muda ini bangun,
beritahu aku. ” Rasululah saw
kemudian kembali ke
tempatnya. Lewat tengah
malam pemuda itu bangun.
Yang pertama kali ia
tanyakan ialah apakah
Rasulullah saw telah
berkunjung kepadanya.
Diceritakanlah kepada
pemuda itu bahwa Rasulullah
saw bukan saja berkunjung,
tapi beliau juga berpesan
agar diberitahu jika pemuda
itu bangun. Pemuda itu
berkata, “Tidak, jangan
beritahukan Rasulullah saw.
Bila Rasulullah harus pergi
pada malam seperti ini, aku
kuatir orang-orang Yahudi
akan mengganggunya di
perjalanan. ” Segera setelah
itu, pemuda itu
menghembuskan nafasnya
yang terakhir.
Pagi hari usai shalat subuh,
Rasulullah saw diberitahu
tentang kematian pemuda
itu. Rasul datang melayat
jenazah pemuda itu dan
berdo ’a dengan do’a yang
pendek tetapi sangat
menyentuh hati, “Ya Allah,
sambutlah Thalhah di sisi-
Mu, Thalhah tersenyum
kepada-Mu dan Engkau
tersenyum kepadanya. ”
Dengan hal itu Nabi
menggambarkan kepada
kita, bahwa orang yang
mencintainya akan dido ’akan
oleh Nabi untuk berjumpa
dengan Allah swt. Allah akan
ridha kepadanya dan dia
ridha kepada Allah,
Radhiyyatan Mardhiyyah. Dia
tersenyum melihat Allah dan
Allah tersenyum melihatnya.
Hadits yang kedua
mengisahkan seorang
pedagang minyak goreng di
Madinah. Setiap kali dia
hendak pergi, termasuk pergi
ke pasar, dia selalu melewati
rumah Rasulullah saw. Dia
selalu singgah di tempat itu
sampai dia puas
memandang wajah Rasul.
Setelah itu ia pergi ke pasar.
Suatu saatetelah melepaskan
rindunya kepada Rasul,
seperti biasanya ia pergi ke
pasar. Tapi tidak berapa lama
setelah itu, dia datang lagi.
Nabi terkejut sehingga
bertanya, “Kenapa kau balik
lagi?” Ia menjawab, “Ya
Rasulullah, setelah saya
sampai di pasar hati saya
gelisah. Saya ingin kembali
lagi. Izinkan saya
memandang Engkau
sebentar saja untuk
memuaskan kerinduan
saya. ” Kemudian Rasul
berbincang-bincang dengan
orang itu.
Tidak lama setelah itu Nabi
tidak lagi melihat tukang
minyak itu lewat di depan
rumahnya. Berhari-hari
orang itu tidak lagi kelihatan
batang hidungnya di depan
Rasulullah saw. Lalu Rasul
mengajak sahabat-
sahabatnya untuk
menjenguk dia. Berangkatlah
mereka ke pasar dan
mendapat kabar bahwa
orang itu telah meninggal
dunia. Rupanya pertemuan
sampai dua kali waktu itu
merupakan isyarat bahwa
dia tidak bisa lagi
memandang wajah
Rasulullah saw.
Rasul bertanya kepada
orang-orang di pasar,
“ Bagaimana akhlak orang
itu?” Mereka berkata, “Orang
itu pedagang yang sangat
jujur. Cuma ada sedikit saja,
orang ini senang
perempuan. ” Kemudian
Rasul berkata, “Sekiranya
orang itu dalam dagangnya
agak lancung sedikit, Allah
akan mengampuni dosanya
karena kecintaannya
kepadaku. ” Tetapi orang itu
sangat jujur dan
kecintaannya kepada Rasul
dibuktikan dalam
kejujurannya di dalam
berdagang.
Dua hadits di atas
menceritakan kepada kita
tentang pentingnya
mencintai Rasulullah saw.
Sudah sering kita mendengar
hadits yang berbunyi,
“Belum beriman kamu
sebelum aku lebih kamu
cintai daripada dirimu, anak-
anakmu, dan seluruh ummat
manusia. ”
Kita semua diperintahkan
mencintai Rasulullah saw.
Mencintai Rasul merupakan
bagian dari seluruh
bangunan keislaman kita.
Oleh karena itu, dahulu para
ulama melakukan berbagai
cara agar kecintaan kepada
Nabi terus-menerus
dibangkitkan. Di antaranya
dengan menghias majelis-
majelis mereka dengan
bacaan shalawat,
mengadakan peringatan
maulid, dan mengungkapkan
kecintaan mereka dengan
puisi-puisi, sehingga
sepanjang sejarah sudah
terkumpul ribuan puisi yang
ditulis untuk
mengungkapkan kecintaan
kepada Rasululah saw.
Beberapa waktu yang lalu di
masjid Asy-Syifâ, Universitas
Diponegoro, saya mengajak
semua orang untuk kembali
membangkitkan kecintaan
kepada junjungan kita
Rasulullah saw. Ada orang
yang bertanya kepada saya:
“ Saya ingin mencintai
Rasulullah, tapi apa yang
harus saya lakukan supaya
kecintaan itu tertanam di
dalam hati saya. Kalau saya
ini mencintai seorang
perempuan, saya bayangkan
wajahnya, rambutnya, dan
bibirnya supaya tumbuh
kerinduan saya kepada
perempuan itu. Apakah saya
harus membayangkan
wajah Rasululah saw,
supaya saya bisa men-
cintainya ?” Waktu itu saya
menjawab: “Inilah bencana
paling besar yang menimpa
kita sekarang ini. Kita hanya
bisa mencintai sesuatu yang
bisa dilihat, diraba, dan
disaksikan. Kita ini sama
dengan orang-orang kafir
yang disebutkan dalam Al-
Qur ’an. Mereka hanya
mencintai yang zhahir saja,
mata mereka tidak dapat
menembus hal-hal yang
bathiniyah.
Jadi, kalau kita mau
mencintai, maka cinta kita
hanya cinta fisikal saja, cinta
yang sensual. Kita tidak
dididik untuk mencintai
orang bukan karena
tubuhnya. Di dalam ilmu
percintaan, cinta karena
tubuh adalah tahapan cinta
yang paling rendah. Para ahli
jiwa mengatakan, cinta
pertama pada anak-anak
adalah cinta pada sesuatu
yang bisa dilihat. Menurut
Sigmund Freud, pertama kali
seseorang mencintai ialah
ketika dia merasakan
kenikmatan pada waktu
menyusu kepada ibunya.
Itulah cinta yang paling
rendah. Makin dewasa orang
itu, makin abstrak atau makin
tidak kelihatan cintanya.
Sayang, tampaknya
kedewasaan kita ini lambat.
Salah satu ciri
ketidakdewasaan kita adalah
bila kita mencintai sesuatu,
itu dikarenakan oleh hal-hal
yang kongkret dan bisa
dilihat. Kita cinta kepada
gunung, karena
kehijauannya yang bisa
dilihat dan kesejukkan
anginnya yang bisa
dirasakan. Bukan karena
keanggunannya dan misteri
yang ada dibalik gunung itu.
Kalau kita menceritakan laut,
yang kita ceritakan adalah
gelombangnya, batu-batu
karangnya, dan ikan-ikannya.
Tidak kita ceritakan keluasan
samudera itu,
kedahsyatannya, dan
pengaruhnya kepada jiwa
kita. Sebab, semua hal itu
terlalu abstrak dan kita
terbiasa dengan hal-hal yang
kongkret.
Ketika Pemilu, kita memilih
partai bukan program-
programnya. Karena
program bersifat abstrak,
tidak kelihatan. Kita
jugamemilih bukan karena
perilaku para politisinya,
karena perilaku itu tidak
kelihatan.
Tapi saya tidak akan
menceritakan hal itu, saya
akan membawa Anda
mencintai Rasulullah saw
dengan kecintaan yang lebih
tinggi tingkatnya. Bukan
kecintaan fisikal atau
jasmaniah. Kecintaan
jasmaniah itu adalah
kecintaan ala ABG, yang tidak
layak buat orang-orang
dewasa seperti kita.
Kalau kita buka ayat Al-
Qur ’an, ketika Allah berkisah
tentang Rasulullah saw, tidak
pernah diceritakan sifat-sifat
jasmaniah Rasulullah saw.
Al-Qur ’an selalu
menceritakan sifat-sifat
ruhaniah Rasulullah saw.
Bercerita tentang akhlak
Rasulullah saw, bukan
penampilan fisiknya.
Berbeda dengan para
sahabat. Kalau sahabat
bercerita tentang Rasulullah
saw sering berupa
penampilan fisiknya.
Misalnya diceritakan bahwa
Rasul itu kalau tertawa
sampai kelihatan gusinya.
Atau diceritakan tentang
tetesan keringat Rasul. Siti
Aisyah pernah terpesona
dengan tetesan keringat di
dahi Rasul, sampai dia
berkata: “Ya Rasulullah, ingin
saya bacakan sebuah puisi
kepadamu. ” Lalu Siti Aisyah
menuliskan puisinya dengan
mengutip syair seorang Arab
tentang tetesan keringatnya.
Saya tidak bermaksud
mengatakan bahwa Siti
Aisyah hanya mencintai
Rasulullah saw karena
jasmaninya.
Saya ingin mengetengahkan
satu ayat Al-Qur ’an. Ada
riwayat yang agak lucu
tentang ayat ini. Katanya
setelah Al-Qur ’an terkumpul
dan tertulis pada zaman Abu
Bakar, seseorang berkata
bahwa ada satu ayat yang
hilang. Pada waktu itu,
seseorang yang
mengumpul-kan ayat harus
membawa saksi satu orang.
Sehingga jumlah pengumpul
ayat ada dua orang.
Seseorang berbicara, “Ada
yang terlewat, satu ayat
belum masuk ke situ. ” Dia
hanya seorang diri, tidak
mempunyai saksi. Namanya
Khuzaimah bin Tsabit. Lalu
orang-orang berkata,
“ Kesaksian Khuzaimah bin
Tsabit dihitung menjadi dua,
karena hanya dia yang
mengetahui ayat Al-Qur ’an
ini.”
Lepas dari persoalan hadits
ini shahih atu tidak, ayat itu
bercerita tentang akhlak
Rasullullah saw dan ayat itu
sering menjadi wirid kita
semua. Mungkin ini juga
merupakan cara agar kita
mampu memasukkan akhlak
itu dalam kehidupan kita.
Ayat itu berbunyi, “Laqad
Jâ’akum Rasûlum Min
Anfusikum…” (QS Al-Taubah
128). Menurut Fakhrur Râzi,
kata anfusikum menurut
qira ’at nabi saw, qira’at
Fatimah as, dan qira’at
Aisyah dari Ibnu Abbas as
harus dibaca Anfasikum.
Dibacanya difathahkan bukan
didhammahkan. Hal ini akan
kita ceritakan kemudian.
Fakhrur Razi menjelaskan
ada empat sifat Nabi yang
tergambar dalam Surat At-
Taubah ayat 128. Pertama,
Min Anfusikum, dari
kalanganmu sendiri. Nabi
berasal dari sesama manusia
seperti kamu. Nabi yang
datang itu bukanlah Nabi
yang datang sebagai
makhluk ghaib, bukan pula
Superman, tapi Nabi yang
datang dari tengah-tengah
manusia. Bahkan Nabi
diperintahkan untuk berkata
bahwa Nabi adalah manusia
seperti kita semua, seperti
dalam ayat “Qul innamâ anâ
basyârum mitslukum…” (QS.
Al-Kahfi 110) Nabi adalah
manusia biasa. Kalau ia
berjalan, ada bayang-bayang
badannya. Kalau terkena
panas matahari, berkeringat
kulitnya. Kalau terkena anak
panah, berdarah tubuhnya.
Ia bukan manusia istimewa
dari segi jasmaniahnya, ia
pun merasakan lapar dan
dahaga. Al-Qur ’an
menegaskan bahwa
kehidupan Nabi itu sama
seperti kehidupan manusia
biasa. Nabi dapat merasakan
kepedihan dan penderitaan
seperti manusia biasa yang
mendapatkan musibah.
Dalam qira’at Min Anfasikum,
diterangkan bahwa kata
Anfas mengandung arti yang
paling mulia. Jadi ayat ini
berarti, “Sudah datang di
antara kamu seorang Rasul
yang paling mulia. ” Artinya
Rasulullah diakui
kemuliaannya, bahkan
sebelum Rasul membawa
ajaran Islam. Dia adalah
orang yang paling baik di
tengah-tengah
masyarakatnya dilihat dari
segi akhlaknya. Sebagian
orang ada yang
menyebutkan bahwa Rasul
berasal dari kabilah yang
paling baik. Jadi sifat pertama
nabi adalah paling mulia
akhlaknya, sampai orang-
orang di sekitarnya memberi
gelar Al-Amîn, orang yang
terpercaya.
Sifat kedua Nabi ialah, berat
hatinya melihat penderitaan
umat manusia. Para ahli
tafsir mengatakan yang
dimaksud dengan berat hati
Nabi ialah kalau manusia
menemukan hal-hal yang
tidak enak. Dalam riwayat
yang lain, yang diartikan
dengan berat hati Rasul ialah
jika orang Islam berbuat
dosa kepada Allah. Dalam
sebuah hadits, diriwayatkan
bahwa sampai sekarang
Rasulullah masih dapat
melihat perbuatan-perbuatan
kita dan Rasul akan
menderita jika melihat kita
berbuat dosa. Karena beliau
sangat ingin supaya kita
memperoleh petunjuk Allah.
Bahkan Rasul sampai
bersujud di hadapan Allah
agar diizinkan untuk dapat
memberi syafaat kepada
umatnya.
Jalaluddin Rumi bercerita
dalam salah satu syairnya
yang dibukukan dalam Al-
Matsnawi tentang Rasulullah
saw. Pada suatu hari di
mesjid, Rasul kedatangan
serombongan kafir yang
meminta untuk bertamu.
Mereka berkata, “Kami ini
datang dari jarak yang jauh,
kami ingin bertamu kepada
Engkau, Ya Rasulullah. ” Lalu
Rasul mengantarkan para
tamu tersebut kepada para
sahabatnya. Salah seorang
kafir yang bertubuh besar
seperti raksasa tertinggal di
mesjid, karena tidak ada
seorang sahabat pun yang
mau menerimanya. Dalam
syair itu disebutkan, ia
tertinggal di mesjid seperti
tertinggalnya ampas di
dalam gelas. Mungkin para
sahabat takut menjamu dia,
karena membayangkan
harus menyediakan wadah
yang sangat besar.
Lalu Rasul membawa dan
menempatkannya di sebuah
rumah. Dia diberi jamuan
susu dengan mendatangkan
tiga ekor kambing dan
seluruh susu itu habis
diminumnya. Dia juga
menghabiskan makanan
untuk delapan belas orang,
sampai orang yang
ditugaskan melayani dia
jengkel. Akhirnya petugas itu
menguncinya di dalam.
Tengah malam, orang kafir
itu menderita sakit perut. Dia
hendak membuka pintu tapi
pintu itu terkunci. Ketika rasa
sakit tidak tertahankan lagi,
akhirnya orang itu
mengeluarkan kotoran di
rumah itu.
Setelah itu, ia merasa malu
dan terhina. Seluruh
perasaan bergolak dalam
pikirannya. Dia menunggu
sampai menjelang subuh
dan berharap ada orang
yang akan membukakan
pintu. Pada saat subuh dia
mendengar pintu itu terbuka,
segera saja dia lari keluar.
Yang membuka pintu itu
adalah Rasulullah saw.
Rasul tahu apa yang terjadi
kepada orang kafir itu. Ketika
Rasul membuka pintu itu,
Rasul sengaja bersembunyi
agar orang kafir itu tidak
merasa malu untuk
meninggalkan tempat
tersebut.
Ketika orang kafir itu sudah
pergi jauh, dia teringat
bahwa azimatnya tertinggal
di rumah itu. Jalaluddin Rumi
berkata, “Kerasukan
mengalahkan rasa malunya.
Keinginan untuk
memperoleh barang yang
berharga menghilangkan
rasa malunya. ” Akhirnya dia
kembali ke rumah itu.
Sementara itu, seorang
sahabat membawa tikar
yang dikotori oleh orang kafir
itu kepada Rasul, “Ya
Rasulullah, lihat apa yang
dilakukan oleh orang kafir
itu !” Kemudian Rasul berkata,
“Ambilkan wadah, biar aku
bersihkan.” Para sahabat
meloncat dan berkata, “Ya
Rasulullah, engkau adalah
Sayyidul Anâm. Tanpa
engkau tidak akan diciptakan
seluruh alam semesta ini.
Biarlah kami yang
membersihkan kotoran ini.
Tidak layak tangan yang
mulia seperti tanganmu
membersihkan kotoran ini.”
“Tidak,” kata Rasul, “ini
adalah kehormatan bagiku.”
Para sahabat berkata, “Wahai
Nabi yang namanya
dijadikan sumpah
kehormatan oleh Allah, kami
ini diciptakan untuk
berkhidmat kepadamu. Kalau
engkau melakukan ini, maka
apalah artinya kami ini.”
Begitu orang kafir itu datang
ke tempat itu, dia melihat
tangan Rasulullah saw yang
mulia sedang membersihkan
kotoran yang
ditinggalkannya. Orang kafir
tidak sanggup menahan
emosinya. Ia memukul-
mukul kepalanya sambil
berkata, “Hai kepala yang
tidak memiliki pengetahuan.”
Dia memukul-mukul
dadanya sambil berkata, “Hai
hati yang tidak pernah
memperoleh berkas cahaya.”
Dia bergetar ketakutan
menahan rasa malu yang
luar biasa. Kemudi-an Rasul
menepuk bahunya
menenangkan dia. Singkat
cerita, orang kafir itu masuk
Islam.
Boleh jadi cerita Jalaluddin
Rumi ini adalah sebuah
metafora. Suatu perlambang
bahwa kedatangan Rasul
adalah untuk membersihkan
kotoran dan noda-noda yang
ada pada diri kita. Betapa
banyaknya kaum muslimin
menodai rumah Rasul
dengan kemaksiatan dan
akhlak yang buruk. Kita ini
sama dengan orang kafir
yang menaburkan kotoran di
rumah Rasul yang suci.
Bedanya ialah, kita percaya
karena kecintaan Nabi kepada
kita, Rasul akan mengulurkan
syafaatnya kepada kita. Derita
kita adalah juga derita Rasul.
Karena itu, jangan ragu-ragu
untuk datang meminta
syafaatnya dan bersimpuh di
hadapan Nabi sambil
mengucapkan, “Yâ Abal
Qâsim, Yâ Rasûlallâh, Yâ
Wajîhan ‘Indallâh, Isyfa’lanâ
‘Indallâh.”
Terlalu banyak kotoran yang
kita taburkan di rumah Nabi
yang mulia. Seperti tertulis
dalam sebuah puisi Iqbal.
Ketika sakit keras, Iqbal
pernah berdo ’a: “Ya Allah
kalau Engkau adili aku di hari
kiamat nanti, jangan
dampingkan aku di samping
Nabi Al-Musthafa. Karena aku
malu mengaku sebagai
umatnya padahal hidupku
bergelimang dalam dosa.”
Kita sebenarnya harus malu
seperti malunya orang kafir
itu. Kita datang berziarah
kepada Rasul di bulan Maulid
ini dengan membawa
seluruh kemaksiatan. Kita
sudah banyak mengotori
rumah Rasul yang mulia
dengan akhlak yang tercela.
Tapi kita percaya bahwa Nabi
mendengar jeritan kita. Kita
sadari kejelekan akhlak-akhlak
kita dan kita malu bertemu
dengan Rasul dengan
membawa dosa. Tetapi kita
percaya bahwa kita
menantikan tepukan tangan
Rasul untuk menentramkan
batin kita dan mengharapkan
syafaatnya.
Sifat ketiga Rasullullah saw,
ialah bahwa ia sangat ingin
agar kaum muslimin
memperoleh kebaikan. Ia
ingin memberikan petunjuk
kepada umatnya. Keinginan
untuk memberikan petunjuk
kepada kita begitu besar,
sehingga Rasul bersedia
memikul seluruh penderitaan
dalam berdakwah.
Adapun sifat keempat
Rasulullah saw, ialah bahwa
ia sangat penyantun dan
penyayang kepada kaum
mukminin. Menurut para ahli
tafsir, belum pernah Allah
menghimpunkan dua nama-
Nya sekaligus pada nama
seorang nabi, kecuali kepada
Nabi Muhammad saw. Nama
yang dimaksud ialah nama
Raûfur Rahîm.
Raûfur Rahîm itu adalah
nama Allah. Nama itu pun
dinisbahkan Allah kepada
Rasulullah. Menurut sebagian
ulama, Raûfun artinya
penyayang dan Rahîm
artinya pengasih. Jika kedua
kata itu digabungkan dalam
satu tempat, maka artinya
berbeda. Menurut sebagian
ahli tafsir, nama itu berarti
sifat Nabi yang penyayang
tidak hanya kepada orang
yang taat kepadanya, tapi
juga penyayang kepada
orang yang berbuat dosa.
Nabi melihat amal kita setiap
hari. Beliau berduka cita
melihat amal-amal kita yang
buruk.
Dalam riwayat yang lain,
Rasul itu Raûfun Liman Râ’ah,
Rahîmun Liman Lam Yarâh.
Artinya, Rasul itu penyayang
kepada orang yang pernah
berjumpa dengannya dan
juga penyayang kepada
orang yang tidak pernah
berjumpa dengannya. Suatu
hari Rasul berkata, “Alangkah
rindunya aku untuk
berjumpa dengan ikhwânî.”
Para sahabat bertanya,
“ Bukankah kami ini
ikhwânuka.” “Tidak,” jawab
Rasul, “kalian ini sahabat-
sahabatku. Saudara-
saudaraku adalah orang
yang tidak pernah berjumpa
denganku, tapi
membenarkanku dan
beriman kepadaku. ” Rasul
sangat sayang kepada orang
yang tidak pernah berjumpa
dengan Rasul tetapi beriman
kepadanya.
Di dalam Tafsir Al-Dûrrul
Mantsûr, diriwayatkan
sebagai berikut,
“ Berbahagialah orang yang
beriman kepadaku, padahal
tidak pernah berjumpa
denganku. ” Rasul menye-
butnya sampai tiga kali. Rasul
juga sayang bukan hanya
kepada orang Islam saja,
tetapi juga kepada orang
kafir.
Saya akan menceritakan
hadits lain. Diriwayatkan
bahwa ketika Rasul
berdakwah di Thaif, Rasul
dilempari batu sehingga
tubuhnya berdarah.
Kemudian Rasul berlindung
di kebun Uthbah bin Rabi ’ah.
Rasul berdo’a dengan do’a
yang sangat mengharukan.
Rasul memanggil Allah
dengan ucapan, “Wahai
yang melindungi orang-
orang yang tertindas, kepada
siapa Engkau akan serahkan
aku, kepada saudara jauh
yang mengusir aku ?”
Kemudian datang malaikat
Jibril seraya berkata: “Ya
Muhammad, ini Tuhanmu
menyampaikan salam
kepadamu. Dan ini malaikat
yang mengurus gunung-
gunung, diperintah Allah
untuk mematuhi seluruh
perintahmu. Dan dia tidak
akan melakukan apapun
kecuali atas perintahmu. ”
Lalu malaikat dan gunung
berkata kepada Nabi, “Allah
memerintahkan aku untuk
berkhidmat kepadamu. Jika
engkau mau, biarlah aku
jatuhkan gunung itu kepada
mereka. ” Namun Nabi
berucap, “Hai malaikat dan
gunung, aku datang kepada
mereka karena aku berharap
mudah-mudahan akan
keluar dari keturunan mereka
orang-orang yang
mengucapkan kalimat Lâilâha
illallâh.” Nabi tidak mau
menurunkan azab kepada
mereka. Nabi berharap kalau
pun mereka tidak beriman,
keturunan mereka nanti akan
beriman. Kemudian berkata
para malaikat dan gunung,
“Engkau seperti disebut oleh
Tuhanmu, sangat penyantun
dan penyayang. ”
Kasih sayangnya tidak
terbatas kepada umatnya.
Perasaan cinta kita kepada
Nabi tidak sebanding dengan
besarnya kecintaan Nabi
kepada kita semua. Kecintaan
Nabi terhadap orang-orang
yang menderita begitu besar.
Menurut Siti Aisyah, Nabi
tidak makan selama tiga hari
berturut-turut dalam keadaan
kenyang. Ketika Aisyah
bertanya apa sebabnya, Nabi
menjawab, “Selama masih
ada ahli shufah —orang-
orang miskin yang kelaparan
di sekitar mesjid — saya tidak
akan makan kenyang.” Dan
itu tidak cukup hanya pada
saat itu, Nabi juga
memikirkan umatnya di
kemudian hari. Beliau
khawatir ada umatnya yang
makan kenyang sementara
tetangga di sekitarnya
kelaparan.
Karena itu, Nabi berpesan,
“ Tidak beriman kamu, jika
kamu tidur dalam keadaan
kenyang sementara
tetanggamu kelaparan. ” Nabi
pun mengatakan, “Orang
yang senang membantu
melepaskan penderitaan
orang lain, akan senantiasa
mendapat bantuan Allah
swt. ” Empat sifat Rasulullah
kepada umatnya, yang
sangat luar biasa.
Marilah kita kenang kecintaan
Rasulullah yang agung
kepada kita dan
bandingkanlah apa yang bisa
membuktikan kecintaan kita
kepadanya. Sekarang kita
bertanya, sudah sejauh
mana kita mengikuti sunnah
Rasulullah saw? Dapatkah
akhlak kita seperti akhlak Nabi
sebagaimana yang disebut
dalam surat Al-Taubah 128?
Bagai-mana kita dapat ikut
merasakan penderitaan
orang-orang di sekitar kita?
Bagaimana kita menjadi
orang yang berusaha agar
orang- orang lain itu hidup
bahagia dan memperoleh
petunjuk Allah? Bagaimana
kita menumbuh-kan sikap
Raûfur Rahîm di dalam diri
kita seperti Rasulullah saw
contohkan kepada kita?
Marilah kita sebarkan
kecintaan kepada Rasulullah
saw di dalam diri kita,
keluarga kita, dan pada
masyarakat di sekitar kita.
Akhirul kalam, yang harus
selalu kita ingatkan pada diri
kita adalah misi Rasulullah
yang paling utama, yaitu
misi akhlak yang mulia. Tidak
ada artinya menisbahkan diri
kita kepada Rasulullah saw
tanpa memelihara akhlak
yang mulia. Hendaknya kita
selalu malu untuk
mengucapkan shalawat
kepada junjungan kita,
sementara di punggung kita
penuh dengan dosa dan
maksiat. Kita telah mengotori
rumah Rasulullah saw
dengan akhlak buruk kita. ***
(sumber: Buletin Al-Tanwir:
Nomor 119 Edisi 15 Juli 1998)
Diambili dari: jalal-center.com
Kategori Kategori: : Cinta Cinta Rasul Rasul