Rabu, November 24, 2010

Definisi Iman

Pengertian iman secara bahasa
menurut Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
adalah pengakuan yang
melahirkan sikap menerima dan
tunduk. Kata beliau makna ini
cocok dengan makna iman dalam
istilah syari ’at. Dan beliau
mengkritik orang yang memaknai
iman secara bahasa hanya sekedar
pembenaran hati (tashdiq) saja
tanpa ada unsur menerima dan
tunduk. Kata ’iman’ adalah fi’il lazim
(kata kerja yang tidak butuh objek),
sedangkan tashdiq adalah fi ’il
muta’addi (butuh objek) (Lihat
Syarh Arba’in, hal. 34)
Adapun secara istilah, dalam
mendefinisikan iman manusia
terbagi menjadi beragam pendapat
[dikutip dari Al Minhah Al Ilahiyah,
hal. 131-132 dengan sedikit
perubahan redaksional] :
Pertama
Imam Malik, Asy Syafi’i, Ahmad,
Al Auza’i, Ishaq bin Rahawaih, dan
segenap ulama ahli hadits serta
ahlul Madinah (ulama Madinah) –
semoga Allah merahmati mereka-
demikian juga para pengikut
madzhab Zhahiriyah dan sebagian
ulama mutakallimin berpendapat
bahwa definisi iman itu adalah :
pembenaran dengan hati,
pengakuan dengan lisan, dan amal
dengan anggota badan. Para
ulama salaf –semoga Allah
merahmati mereka- menjadikan
amal termasuk unsur keimanan.
Oleh sebab itu iman bisa
bertambah dan berkurang,
sebagaimana amal juga
bertambah dan berkurang (lihat
Kitab Tauhid li Shaff Ats Tsaani Al
‘ Aali, hal. 9).
Kedua
Banyak di antara ulama madzhab
Hanafi yang mengikuti definisi
sebagaimana yang disebutkan oleh
Ath Thahawi rahimahullah yang
mengatakan bahwa iman itu
pengakuan dengan lisan dan
pembenaran dengan hati.
Ketiga
Ada pula yang mengatakan bahwa
pengakuan dengan lisan adalah
rukun tambahan saja dan bukan
rukun asli. Inilah pendapat Abu
Manshur Al Maturidi rahimahullah,
dan Abu Hanifah pun diriwayatkan
memiliki sebuah pendapat seperti
ini.
Keempat
Sekte Al Karramiyah mengatakan
bahwa iman itu hanya pengakuan
dengan lisan saja! Maka dari definisi
mereka ini orang-orang munafiq
itu dinilai sebagai orang-orang
beriman yang sempurna
keimanannya, akan tetapi menurut
mereka orang-orang munafiq itu
berhak mendapatkan ancaman
yang dijanjikan oleh Allah untuk
mereka! Pendapat mereka ini
sangat jelas kekeliruannya.
Kelima
Jahm bin Shafwan dan Abul Hasan
Ash Shalihi –salah satu dedengkot
sekte Qadariyah- berpendapat
bahwa iman itu cukup dengan
pengetahuan yang ada di dalam
hati! [Dan inilah yang diyakini oleh
kaum Jabariyah, lihat. Syarh
‘ Aqidah Wasithiyah, hal. 163].
Pendapat ini jauh lebih jelas
kerusakannya daripada pendapat
sebelumnya! Sebab kalau pendapat
ini dibenarkan maka
konsekuensinya Fir ’aun beserta
kaumnya menjadi termasuk
golongan orang-orang yang
beriman, karena mereka telah
mengetahui kebenaran Musa dan
Harun ‘alaihimash sholatu was
salam dan mereka tidak mau
beriman kepada keduanya. Karena
itulah Musa mengatakan kepada
Fir ’aun, ”Sungguh kamu telah
mengetahui dengan jelas bahwa
tidaklah menurunkan itu semua
melainkan Rabb pemilik langit dan
bumi. ” (QS. Al Israa’ [17] : 102).
Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), ”Mereka telah
menentangnya, padahal diri
mereka pun meyakininya, hal itu
dikarenakan sikap zalim dan
perasaan sombong. Maka
perhatikanlah bagaimana
kesudahan orang-orang yang
melakukan kerusakan itu.” (QS. An
Naml [27] : 14). Bahkan iblis pun
dalam pengertian Jahm ini juga
termasuk kaum beriman yang
sempurna imannya! Karena ia
tidaklah bodoh tentang Rabbnya,
bahkan dia adalah sosok yang
sangat mengenal Allah (yang
artinya), ”Iblis berkata,’Rabbku,
tundalah kematianku hingga hari
mereka dibangkitkan nanti. ’.” (QS.
Al Hijr [15] : 36). Dan hakekat
kekufuran dalam pandangan Jahm
ini adalah ketidaktahuan tentang
Allah ta ’ala, padahal tidak ada yang
lebih bodoh tentang Rabbnya
daripada dia! ….
Imam Asy Syafi’i rahimahullah
berkata, “Iman itu meliputi
perkataan dan perbuatan. Dia bisa
bertambah dan bisa berkurang.
Bertambah dengan sebab ketaatan
dan berkurang dengan sebab
kemaksiatan. ” Imam Ahmad bin
Hanbal rahimahullah berkata,
“ Iman bisa bertambah dan bisa
berkurang. Ia bertambah dengan
melakukan amal, dan ia berkurang
dengan sebab meninggalkan
amal. ” (Perkataan dua orang imam
ini bisa dilihat di Al Wajiz fii ‘Aqidati
Salafish shalih, hal. 101-102) Bahkan
Imam Bukhari rahimahullah
mengatakan, “Aku telah bertemu
dengan lebih dari seribu orang
ulama dari berbagai penjuru
negeri, aku tidak pernah melihat
mereka berselisih bahwasanya
iman adalah perkataan dan
perbuatan, bisa bertambah dan
berkurang.” (Lihat Fathul Baari,
I/60)
Penjelasan definisi iman
‘Iman itu berupa pembenaran hati’
artinya hati menerima semua
ajaran yang dibawa oleh Rasul
shallallahu ‘alahi wa sallam.
‘Pengakuan dengan lisan’ artinya
mengucapkan dua kalimat
syahadat ‘asyhadu an la ilaha
illallah wa asyhadu anna
Muhammadar rasulullah’.
Sedangkan ‘perbuatan dengan
anggota badan’ artinya amal hati
yang berupa keyakinan-keyakinan
dan beramal dengan anggota
badan yang lainnya dengan
melakukan ibadah-ibadah sesuai
dengan kemampuannya (Lihat
Kitab At Tauhid li Shaff Ats Tsaani
Al ‘Aali, hal. 9)
Dan salah satu pokok penting dari
aqidah Ahlus sunnah wal jama ’ah
ialah keyakinan bahwa iman itu
bertambah dan berkurang (Lihat
Fathu Rabbbil Bariyah, hal. 102).
Hal ini telah ditunjukkan oleh dalil-
dalil dari Al Kitab maupun As
Sunnah. Salah satu dalil dari Al
Kitab yaitu firman Allah ta’ala (yang
artinya), “Agar bertambah
keimanan mereka di atas keimanan
mereka yang sudah ada. ” (QS. Al
Fath [48] : 4).
Dalil dari As Sunnah di antaranya
adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam tentang sosok kaum
perempuan, ”Tidaklah aku melihat
suatu kaum yang kurang akal dan
agamanya dan lebih cepat
membuat hilang akal pada diri
seorang lelaki yang kuat daripada
kalian ini (kaum perempuan). ” (HR.
Al Bukhari dan Muslim).
Maka ayat di atas menunjukkan
penetapan bahwa iman itu bisa
bertambah, sedangkan di dalam
hadits tersebut terdapat penetapan
tentang berkurangnya agama.
Sehingga masing-masing dalil ini
menunjukkan adanya
pertambahan iman. Dan secara
otomatis hal itu juga mengandung
penetapan bisa berkurangnya
iman, begitu pula sebaliknya.
Sebab pertambahan dan
pengurangan adalah dua hal yang
tidak bisa dipisah-pisahkan. Tidak
masuk akal keberadaan salah
satunya tanpa diiringi oleh yang
lainnya.
Dengan demikian dalam
pandangan ahlus sunnah definisi
iman memiliki 5 karakter :
keyakinan, ucapan, amal, bisa
bertambah, dan bisa berkurang.
Atau bisa diringkas menjadi 3 :
keyakinan, ucapan, dan amal.
Karena amal bagian dari iman,
secara otomatis iman bisa
bertambah dan berkurang. Atau
bisa diringkas lebih sedikit lagi
menjadi 2 : ucapan dan amal,
sebab keyakinan sudah termasuk
dalam amal yaitu amal hati.
Wallahu a ’lam.
Penyimpangan dalam
mendefinisikan iman
Keyakinan bahwa iman bisa
bertambah dan berkurang adalah
aqidah yang sudah paten, tidak
bisa diutak-atik atau ditawar-tawar
lagi. Meskipun demikian, ada juga
orang-orang yang menyimpang
dari pemahaman yang lurus ini.
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
rahimahullah menjelaskan bahwa
orang-orang yang menyimpang
tersebut terbagi menjadi dua
kelompok yaitu : Murji ’ah dan
Wai’diyah.
Murji’ah tulen mengatakan
bahwa iman itu cukup dengan
pengakuan di dalam hati, dan
pengakuan hati itu menurut
mereka tidak bertingkat-tingkat.
Sehingga menurut mereka orang
yang gemar bermaksiat (fasik)
dengan orang yang salih dan taat
sama saja dalam hal iman.
Menurut orang-orang Murji ’ah
amal bukanlah bagian dari iman.
Sehingga cukuplah iman itu
dengan modal pengakuan hati dan
ucapan lisan saja. Konsekuensi
pendapat mereka adalah pelaku
dosa besar termasuk orang yang
imannya sempurna. Meskipun dia
melakukan kemaksiatan apapun
dan meninggalkan ketaatan
apapun. Madzhab mereka ini
merupakan kebalikan dari
madzhab Khawarij. (lihat Syarh
Lum’atul I’tiqad, hal. 161-163, Syarh
‘Aqidah Wasithiyah, hal. 162).
Wa’idiyah yaitu kaum Mu’tazilah
[Mereka adalah para pengikut
Washil bin ‘Atha’ yang beri’tizal
(menyempal) dari majelis
pengajian Hasan Al Bashri. Dia
menyatakan bahwa orang yang
melakukan dosa besar itu di dunia
dihukumi sebagai orang yang
berada di antara dua posisi
(manzilah baina manzilatain), tidak
kafir tapi juga tidak beriman. Akan
tetapi menurutnya di akherat
mereka akhirnya juga akan kekal di
dalam Neraka, lihat Syarh Lum ’atul
I’tiqad, hal. 161-163] dan Khawarij
mengatakan bahwa pelaku dosa
besar telah keluar dari lingkaran
iman. Mereka mengatakan bahwa
iman itu kalau ada maka ada
seluruhnya dan kalau hilang maka
hilang seluruhnya. Mereka
menolak keyakinan bahwa iman
itu bertingkat-tingkat. Orang-orang
Mu ’tazilah dan Khawarij
berpendapat bahwa iman itu
adalah : pembenaran dengan hati,
pengakuan dengan lisan, dan amal
dengan anggota badan, akan tetapi
iman tidak bertambah dan tidak
berkurang (lihat Thariqul wushul ila
idhahi Tsalatsati Ushul, hal. 169).
Sehingga orang Mu ’tazilah
menganggap semua amal adalah
syarat sah iman (lihat catatan kaki
Al Minhah Al Ilahiyah, hal. 133).
Dengan kata lain, menurut mereka
pelaku dosa besar keluar dari Islam
dan kekal di neraka (lihat Syarh
‘Aqidah Wasithiyah, hal. 163).
Kedua kelompok ini sudah jelas
terbukti kekeliruannya baik dengan
dalil wahyu maupun dalil akal.
Adapun wahyu, maka dalil-dalil
yang menunjukkan bertambah
dan berkurangnya iman sudah
disebutkan… (Lebih lengkap lihat
Fathu Rabbil Bariyah, hal. 103-104).
Ditulis oleh Ari Wahyudi

Tidak ada komentar: