Minggu, November 21, 2010

Seorang anak, meskipun telah
berkeluarga, tetap wajib berbakti
kepada kedua orang tuanya.
Kewajiban ini tidaklah gugur bila
seseorang telah berkeluarga. Namun
sangat disayangkan, betapa banyak
orang yang sudah berkeluarga lalu
mereka meninggalkan kewajiban ini.
Mengingat pentingnya masalah
berbakti kepada kedua orang tua,
maka masalah ini perlu dikaji secara
khusus.
Jalan yang haq dalam menggapai
ridha Allah ‘Azza wa Jalla melalui orang
tua adalah birrul walidain. Birrul
walidain (berbakti kepada kedua
orang tua) merupakan salah satu
masalah penting dalam Islam. Di dalam
Al-Qur ’an, setelah memerintahkan
manusia untuk bertauhid, Allah ‘Azza
wa Jalla memerintahkan untuk
berbakti kepada orang tuanya.
Seperti tersurat dalam surat al-Israa'
ayat 23-24, Allah Ta ’ala berfirman:
“Artinya : Dan Rabb-mu telah
memerintahkan agar kamu jangan
beribadah melainkan hanya kepada-
Nya dan hendaklah berbuat baik
kepada ibu-bapak. Jika salah seorang
di antara keduanya atau kedua-
duanya sampai berusia lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali
janganlah engkau mengatakan
kepada keduanya perkataan “ah” dan
janganlah engkau membentak
keduanya, dan ucapkanlah kepada
keduanya perkataan yang baik. Dan
rendahkanlah dirimu terhadap
keduanya dengan penuh kasih
sayang dan ucapkanlah, ‘Ya Rabb-ku,
sayangilah keduanya sebagaimana
mereka berdua telah mendidik aku
pada waktu kecil. ’” [Al-Israa' : 23-24]
Perintah birrul walidain juga
tercantum dalam surat an-Nisaa' ayat
36:
“Artinya : Dan beribadahlah kepada
Allah dan janganlah kamu
mempersekutukan-Nya dengan
sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah
kepada kedua orang tua, karib
kerabat, anak-anak yatim, orang-
orang miskin, tetangga dekat,
tetangga jauh, teman sejawat, ibnu
sabil [1], dan hamba sahaya yang
kamu miliki. Sungguh, Allah tidak
menyukai orang-orang yang
sombong dan membanggakan
diri. ” [An-Nisaa' : 36]
Dalam surat al-‘Ankabuut ayat 8,
tercantum larangan mematuhi orang
tua yang kafir jika mereka mengajak
kepada kekafiran:
“Artinya : Dan Kami wajibkan kepada
manusia agar (berbuat) kebaikan
kepada kedua orang tuanya. Dan jika
keduanya memaksamu untuk
mempersekutukan Aku dengan
sesuatu yang engkau tidak
mempunyai ilmu tentang itu, maka
janganlah engkau patuhi keduanya.
Hanya kepada-Ku tempat kembalimu,
dan akan Aku beritakan kepadamu
apa yang telah kamu
kerjakan. ” [Al-‘Ankabuut (29): 8] Lihat
juga surat Luqman ayat 14-15.
ANJURAN BERBUAT BAIK KEPADA
KEDUA ORANG TUA DAN LARANGAN
DURHAKA KEPADA KEDUANYA.
Yang dimaksud ihsan dalam
pembahasan ini adalah berbakti
kepada kedua orang tua, yaitu
menyampaikan setiap kebaikan
kepada keduanya semampu kita dan
bila memungkinkan mencegah
gangguan kepada keduanya. Menurut
Ibnu ‘Athiyah, kita juga wajib
mentaati keduanya dalam hal-hal
yang mubah (yang diperbolehkan
syari ’at), dan harus mengikuti apa-
apa yang diperintahkan keduanya
dan menjauhi apa-apa yang dilarang
(selama tidak melanggar batasan-
batasan Allah ‘Azza wa Jalla).
Sedangkan 'uququl walidain adalah
gangguan yang ditimbulkan seorang
anak terhadap keduanya, baik berupa
perkataan maupun perbuatan.
Contoh gangguan berupa perkataan,
yaitu mengucapkan “ah” atau “cis”,
berkata dengan kalimat yang keras
atau menyakitkan hati, menggertak,
mencaci maki dan lain-lain. Sedangkan
yang berupa perbuatan adalah
berlaku kasar, seperti memukul
dengan tangan atau kaki bila orang
tua menginginkan sesuatu atau
menyuruh untuk memenuhi
keinginannya, membenci, tidak
mempedulikan, tidak bersilaturrahim,
atau tidak memberi nafkah kepada
kedua orang tuanya yang miskin.
KEUTAMAAN BERBAKTI KEPADA KEDUA
ORANG TUA DAN PAHALANYA.
[1]. Merupakan Amal Yang Paling
Utama
‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu
‘anhu berkata.
“Artinya : Aku bertanya kepada Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ‘Amal
apakah yang paling utama?’ Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam
menjawab, ‘Shalat pada waktunya
(dalam riwayat lain disebutkan shalat
di awal waktunya). ’ Aku bertanya lagi,
‘Kemudian apa?’ Nabi menjawab:
‘Berbakti kepada kedua orang tua.’
Aku bertanya lagi: ‘Kemudian apa?’
Nabi menjawab, ‘Jihad di jalan Allah’ [2]
[2]. Ridha Allah Bergantung Kepada
Ridha Orang Tua
Sesuai hadits Rasulullah shallallaahu
‘ alaihi wa sallam, disebutkan:
“Artinya : Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin
‘Ash radhiyallaahu ‘anhuma, bahwa
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Ridha Allah bergantung
kepada keridhaan orang tua dan
murka Allah bergantung kepada
kemurkaan orang tua ” [3]
[3]. Berbakti Kepada Orang Tua Dapat
Menghilangkan Kesulitan Yang
Sedang Dialami
Yaitu, dengan cara bertawassul
dengan amal shalih tersebut. Dalilnya
adalah hadits riwayat dari Ibnu ‘Umar
radhiyallaahu ‘anhuma mengenai
kisah tiga orang yang terjebak dalam
gua, dan salah seorangnya
bertawassul dengan bakti kepada ibu
bapaknya.
Haditsnya sebagai berikut:
“Artinya : ...Pada suatu hari tiga orang
dari ummat sebelum kalian sedang
berjalan, lalu kehujanan. Mereka
berteduh pada sebuah gua di kaki
sebuah gunung. Ketika mereka
berada di dalamnya, tiba-tiba sebuah
batu besar runtuh dan menutupi
mulut gua. Sebagian mereka berkata
kepada yang lain: ‘Ingatlah amal
terbaik yang pernah kamu lakukan.’
Kemudian mereka memohon kepada
Allah dan bertawassul melalui amal
tersebut, dengan harapan agar Allah
menghilangkan kesulitan tersebut.
Salah satu di antara mereka berkata:
‘ Ya Allah, sesung-guhnya aku
mempunyai kedua orang tua yang
sudah lanjut usia sedangkan aku
mempunyai isteri dan anak-anak yang
masih kecil. Aku menggembala
kambing, ketika pulang ke rumah aku
selalu memerah susu dan memberikan
kepada kedua orang tuaku sebelum
orang lain. Suatu hari aku harus
berjalan jauh untuk mencari kayu
bakar dan mencari nafkah sehingga
pulang sudah larut malam dan aku
dapati orang tuaku sudah tertidur,
lalu aku tetap memerah susu
sebagaimana sebelumnya. Susu
tersebut tetap aku pegang lalu aku
mendatangi keduanya namun
keduanya masih tertidur pulas. Anak-
anakku merengek-rengek menangis
untuk meminta susu ini dan aku tidak
memberikannya. Aku tidak akan
memberikan kepada siapa pun
sebelum susu yang aku perah ini
kuberikan kepada kedua orang tuaku.
Kemudian aku tunggu sampai
keduanya bangun. Pagi hari ketika
orang tuaku bangun, aku berikan
susu ini kepada keduanya. Setelah
keduanya minum lalu kuberikan
kepada anak-anakku. Ya Allah,
seandainya perbuatan ini adalah
perbuatan yang baik karena
mengharap wajah-Mu, maka
bukakanlah mulut gua ini. ’ Maka batu
yang menutupi pintu gua itu pun
bergeser sedikit.. ”[4]
[4]. Akan Diluaskan Rizki Dan
Dipanjangkan Umur
Sesuai sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam
“Artinya : Barangsiapa yang ingin
diluaskan rizkinya dan di-panjangkan
umurnya, maka hendaklah ia
menyam-bung silaturrahimnya. ” [5]
Dalam silaturahmi, yang harus
didahulukan adalah silaturahmi
kepada orang tua sebelum kepada
yang lain. Banyak di antara saudara-
saudara kita yang sering berkunjung
kepada teman-temannya, tetapi
kepada orang tuanya sendiri jarang,
bahkan tidak pernah. Padahal ketika
masih kecil, dia selalu bersama orang
tuanya. Sesulit apa pun harus tetap
diusahakan untuk bersilaturahmi
kepada kedua orang tua, karena
dekat kepada keduanya -insya Allah-
akan dimudahkan rizki dan
dipanjangkan umurnya.
[5]. Akan Dimasukkan Ke Surga Ooleh
Allah ‘Azza wa Jalla
Berbuat baik kepada orang tua dan
taat kepada keduanya dalam kebaikan
merupakan jalan menuju Surga.
Sedangkan durhaka kepada orang
tua akan mengakibatkan seorang
anak tidak masuk Surga. Dan di antara
dosa-dosa yang Allah ‘Azza wa Jalla
segerakan adzabnya di dunia adalah
berbuat zhalim dan durhaka kepada
orang tua. Dengan demikian, jika
seorang anak berbuat baik kepada
orang tuanya, Allah akan meng-
hindarkannya dari berbagai
malapetaka, dengan izin Allah ‘Azza
wa Jalla dan akan dimasukkan ke
Surga.
BENTUK-BENTUK DURHAKA KEPADA
KEDUA ORANG TUA
[1]. Menimbulkan gangguan terhadap
orang tua, baik berupa perkataan
atau pun perbuatan yang mem-buat
orang tua sedih atau sakit hati.
[2]. Berkata “ah” atau “cis” dan tidak
memenuhi pang-gilan orang tua.
[3]. Membentak atau menghardik
orang tua.
[4]. Bakhil atau kikir, tidak mengurus
orang tuanya, bahkan lebih
mementingkan yang lain daripada
mengurus orang tuanya, padahal
orang tuanya sangat membutuhkan.
Seandainya memberi nafkah pun,
dilakukan dengan penuh
perhitungan.
[5]. Bermuka masam dan cemberut di
hadapan orang tua, merendahkan
orang tua, mengatakan bodoh,
“ kolot”, dan lain-lain.
[6]. Menyuruh orang tua, misalnya
menyapu, mencuci atau menyiapkan
makanan. Pekerjaan tersebut sangat
tidak pantas bagi orang tua, terutama
jika mereka sudah tua dan lemah.
Tetapi, jika si ibu melakukan pekerjaan
tersebut dengan kemauannya
sendiri, maka tidaklah mengapa, dan
karena itu seorang anak harus
berterima kasih dan membantu orang
tua.
[7]. Menyebut kejelekan orang tua di
hadapan orang banyak atau
mencemarkan nama baik orang tua.
[8]. Memasukkan kemungkaran ke
dalam rumah, misalnya alat musik,
mengisap rokok, dan lain-lain.
[9]. Lebih mentaati isteri daripada
kedua orang tua. Bahkan ada
sebagian orang yang tega mengusir
ibunya demi menuruti kemauan
isterinya.
Nas-alullaahas salaamah wal ‘aafiyah
[10]. Malu mengakui orang tuanya.
Sebagian orang merasa malu dengan
keberadaan orang tua dan tempat
tinggal ketika status sosialnya
meningkat. Tidak diragukan lagi, sikap
semacam itu adalah sikap yang
sangat tercela, bahkan termasuk
kedurhakaan yang keji dan nista.
BENTUK-BENTUK BERBAKTI KEPADA
KEDUA ORANG TUA.
[1]. Bergaul bersama keduanya
dengan cara yang baik. Di dalam
hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam disebutkan bahwa memberi
kegembiraan kepada seseorang
mukmin termasuk shadaqah, lebih
utama lagi kalau memberi
kegembiraan kepada orang tua kita
[2]. Berkata kepada keduanya dengan
perkataan yang lemah lembut.
Hendaknya dibedakan adab ber-
bicara antara kepada kedua orang tua
dengan ke-pada anak, teman atau
dengan yang lain. Berbicara dengan
perkataan yang mulia kepada kedua
orang tua.
[3]. Tawadhu’ (rendah hati). Tidak
boleh kibr (sombong) apabila sudah
meraih sukses atau memenuhi
jabatan di dunia, karena sewaktu lahir,
kita berada dalam keadaan hina dan
membutuhkan pertolongan, kita
diberi makan, minum, dan pakaian
oleh orang tua.
[4]. Memberi infaq (shadaqah) kepada
kedua orang tua, karena pada
hakikatnya semua harta kita adalah
milik orang tua. Oleh karena itu
berikanlah harta itu kepada kedua
orang tua, baik ketika mereka minta
ataupun tidak.
[5 ]. Mendo’akan kedua orang tua. Di
antaranya dengan do’a berikut:
“Wahai Rabb-ku, kasihilah keduanya,
sebagaimana mereka berdua telah
mendidikku sewaktu kecil. ”
Seandainya orang tua masih berbuat
syirik serta bid ’ah, kita tetap harus
berlaku lemah lembut kepada
keduanya, dengan harapan agar
keduanya kembali kepada Tauhid dan
Sunnah. Bagaimana pun, syirik dan
bid ’ah adalah sebesar-besar
kemungkaran, maka kita harus
mencegahnya semampu kita dengan
dasar ilmu, lemah lembut dan
kesabaran. Sambil terus berdo ’a siang
dan malam agar orang tua kita diberi
petunjuk ke jalan yang benar.
APABILA KEDUA ORANG TUA TELAH
MENINGGAL DUNIA.
Maka yang harus kita lakukan adalah:
[1]. Meminta ampun kepada Allah ‘Azza
wa Jalla dengan taubat nashuha
(jujur) bila kita pernah berbuat dur-
haka kepada keduanya di waktu
mereka masih hidup.
[2]. Menshalatkannya dan
mengantarkan jenazahnya ke kubur.
[3]. Selalu memintakan ampunan
untuk keduanya.
[4]. Membayarkan hutang-hutangnya.
[5]. Melaksanakan wasiat sesuai
dengan syari ’at.
[6]. Menyambung silaturrahim kepada
orang yang keduanya juga pernah
menyambungnya.
Semoga dengan memahami dan
mengamalkan nilai-nilai Islam
tersebut, kita dimudahkan oleh Allah
‘ Azza wa Jalla dalam mewujudkan
keluarga yang sakinah, mawaddah wa
rahmah. Aamiin.
[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa
Menuju Keluarga Sakinah, Penulis
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit
Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat,
Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember
2006]
__________
Foote Note
[1]. Ibnu sabil ialah orang yang dalam
perjalanan yang bukan maksiat yang
kehabisan bekal. Termasuk juga anak
yang tidak diketahui ibu-bapaknya.
[2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh
al-Bukhari (no. 527), Muslim dalam
Kitabul Iman (no. 85), an-Nasa-i
(I/292-293), at-Tirmidzi (no. 173), ad-
Darimi (I/278), Ahmad (I/351, 409, 410,
439).
[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh
al-Bukhari dalam Adabul Mufrad (no.
2), Ibnu Hibban (no. 2026 al-Mawaarid),
at-Tirmidzi (no. 1899), al-Hakim
(IV/151-152), ia menshahihkan atas
syarat Muslim dan adz-Dzahabi
menyetujuinya. Syaikh al-Albani
rahimahullaah mengatakan hadits ini
sebagaimana yang dikatakan oleh
mereka berdua (al-Hakim dan adz-
Dzahabi). Lihat Shahiih Adabul Mufrad
(no. 2).
[4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh
al-Bukhari (no. 2272), Fathul Baari
(IV/449), Muslim (no. 2743), dari
Shahabat ‘Abdullah bin ‘Umar
radhiyallaahu ‘anhuma.
[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh
al-Bukhari (no. 5985, 5986), Muslim (no.
2557), Abu Dawud (no. 1693), dari
Shahabat Anas bin Malik radhiyallaahu
‘ anhu.

Tidak ada komentar: