Selasa, November 30, 2010

syahadat

Syahadat berasal dari
kata syahada –
yasyhadu – syuhudan –
syahidan, artinya
menyaksikan. Menurut
istilah, syahadat artinya
penyaksian kesadaran
manusia, bahwa di alam
raya ini tidak ada ilah
melainkan Allah swt (Abd.
Marjie, 2003:125)
DR. Shalih (1998)
membedakan antara
definisi syahadat la ilaha
illallah dan syahadat
muhammadan Rasulullah.
Menurutnya definisi
syahadat la ilaha illallah
ialah beritikad dan
berikrar bahwasannya
tidak ada yang berhak
disembah dan menerima
ibadah kecuali Allah swt,
mentaati hal tersebut dan
mengamalkannya. La
ilaha menafikan hak
penyembahan dari selain
Allah, siapapun orangnya.
Illallah adalah penetapan
hak Allah semata untuk
disembah. Sedangkan
makna syahadat
muhammadan Rasulullah
yaitu meyakini secara
lahir batin bahwa beliau
adalah hamba Allah dan
Rasul-Nya yang diutus
kepada manusia secara
keseluruhan, serta
mengamalkan
konsekuensinya;
mentaati perintahnya,
membenarkan
ucapannya, menjauhi
larangannya, dan tidak
menyembah Allah kecuali
dengan apa yang
disyariatkannya.
Kandungan Kalimat
La Ilaha Illallah
Kalimat la ilaha illallah
mengandung beberapa
makna yang
berhubungan dengan
kehidupan manusia
(marjie, 2003), yaitu:
1. Tidak ada pencipta
selain Allah
2. Tidak ada pemberi
rezeki selain Allah
3. Tidak ada pemilik
semesta raya
dengan segala
isinya, baik benda
hidup dan mati
termasuk manusia,
jin bahkan para
malaikat selain
Allah.
4. Tidak ada yang
menguasai
makhluk-makhluk
yang ada di dunia
ini kecuali Allah.
5. Tidak ada yang
mengatur hokum
dan yang
memutuskan suatu
hokum selain Allah.
6. Tidak ada
pelindung yang
dapat melindungi
selain Allah.
7. Tidak ada tujuan
hidup kecuali untuk
mengabdikan diri
sepenuhnya
kepada Allah
dengan
mengharap
keridoan-Nya.
Konsekuensi
Syahadatan
Dalam syahadat la ilaha
illallah, menurut ulama
tauhid mengandung al
nafyu dan al isbat. Al
nafyu artinya menolak
segala bentuk tuhan
selain Allah, sedangkan al
isbat ialah menetapkan
bahwa tidak ada yang
berhak disembah kecuali
Allah.
Adapun dalam syahadat
muhammadan Rasulullah
mengandung ifrath dan
tafrith. Ifrath adalah
istilah yang muncul dari
kata ‘abduhu
(hambanya / manusia
biasa yang berkewajiban
untuk beribadah kepada
Allah) yang
mengisyaratkan agar
manusia lain – termasuk
umat islam- jangan
sampai bersikap berlebih-
lebihan atau bahkan
sampai mengkultuskan
Nabi yang nantinya
mengarah kepada
penyembahan terhadap
sosok Nabi sebagai
manusia. Sebagaimana
firman-Nya:
sesungguhnya aku ini
hanya seorang manusia
seperti kamu (QS Al-Kahfi:
110)
Tafrith adalah istilah yang
muncul dari kata
Rasuluhu yang
mengisyaratkan bahwa
semua manusia tidak
boleh meremehkan Nabi,
karena beliau adalah
manusia pilihan Allah
yang mendapat tugas
mulia sebagai pemberi
kabar gembira dan
sebagai pemberi
peringatan. Salah satu
contoh sikap
meremehkan Nabi adalah
bilamana kita melakukan
ibadah yang tidak pernah
dicontohkan sama sekali
oleh Rasul, karena
dengan demikian kita
telah menumbuhkan
sikap tidak percaya
terhadap sosok
Muhammad sebagai
utusan Allah untuk
membimbing seluruh
manusia agar melakukan
tata cara ibadah sesuai
dengan kehendak yang
memerintahkan untuk
diibadahi (Allah).
Para ulama tauhid merinci
beberapa syarat bagi
syahadat la ilaha illallah,
diantaranya harus ada
mahabbah atau
kecintaan kepada Allah di
atas segala-galanya.
Namun yang jadi
pertanyaan adalah
bagaimana caranya kita
mencintai Allah yang
ghaib dari pandangan
mata? Kita mungkin akan
langsung faham ketika
ada stimulus untuk
mencintai anak, istri atau
kendaraan mewah yang
baru dibeli, tapi kita akan
bertanya-tanya ketika
ada stimulus untuk
mencintai Allah.
Oleh karena itu Allah
memberikan tuntunan
kepada seluruh manusia
agar dapat mencintai
Allah yang nantinya akan
meraih cinta Allah di
dalam kitab suci
diamanatkan kepada
manusia pilihan-Nya
Rasulullah saw untuk
disampaikan kepada
seluruh manusia;
“Katakanlah, “jika kalian
benar-benar cinta kepada
Allah, maka ikutilah aku,
niscaya kamu akan
dicintai pula oleh Allah,
dan Dia akan
mengampuni segala
dosa-dosa kamu, dan
Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.”
Katakanlah, “Taatlah
kepada Allah dan kepada
Rasul, maka apabila
kamu berpaling ke
belakang, sesungguhnya
Allah tidak mencintai
orang-orang kafir.” (QS Ali
Imran [3]: 31-32)
Mendahulukan sabdanya
atas segala pendapat dan
ucapan orang lain serta
mengamalkan
sunnahnyamerupakan
bagian yang tidak
terpisah dari syahadat la
ilaha illallah. Orang-orang
yang lebih
mengutamakan hukum
atau perundang-
undangan manusia di
atas petunjuk Nabi, maka
jelaslah dia telah keluar
dari konsep syahadatain.
Bebas berprilaku dan
berekspresi walaupun
bertentangan dengan
sunnah Allah dan Rasul-
Nya dengan dalih bahwa
setiap manusia
mempunyai hak azasi
masing-masing, maka bila
dia seorang muslim,
keyakinan tersebut telah
membatalkan
syahadatnya.

Senin, November 29, 2010

Definisi SHOLAT

DEFINISI SHOLAT
DEFINISI SHOLAT
Sholat berasal dari bahasa Arab
As-Sholah ( )
Definisi (ta'rif/pengertian):
Sholat secara Bahasa (Etimologi)
berarti Do'a
Sedangkan secara Istilah/Syari'ah
(Terminologi), sholat adalah
perkataan dan perbuatan tertentu/
khusus yang dibuka/dimulai dengan
takbir (takbiratul ihram) diakhiri/
ditutup dengan salam.
Sholat merupakan rukun perbuatan
yang paling penting diantara rukun
Islam yang lain sebab ia
mempunyai pengaruh yang baik
bagi kondisi akhlaq manusia. sholat
didirikan sebanyak lima kali setiap
hari, dengannya akan didapatkan
bekas/pengaruh yang baik bagi
manusia dalam suatu
masyarakatnya yang merupakan
sebab tumbuhnya rasa
persaudaraan dan kecintaan diantara
kaum muslimin ketika berkumpul
untuk menunaikan ibadah yang satu
di salah satu dari sekian rumah milik
Allah subhanahu wa ta'ala (masjid).
HUKUM SHOLAT
Melaksanakan sholat adalah wajib
'aini bagi setiap orang yang sudah
mukallaf (terbebani kewajiban
syari'ah), baligh (telah dewasa/
dengan ciri telah bermimpi), dan
'aqil (berakal).
Allah berfirman:
"Dan tidaklah mereka diperintah
kecuali agar mereka hanya
beribadah/menyembah kepada
Allah sahaja, mengikhlaskan
keta'atan pada-Nya dalam
(menjalankan) agama dengan hanif
(lurus), agar mereka mendirikan
sholat dan menunaikan zakat,
demikian itulah agama yang lurus".
(Surat Al-Bayyinah:5).
PENETAPAN SHOLAT
Diantara sekian banyak bentuk
ibadah dalam Islam, sholat adalah
yang pertama kali di tetapkan
kewajibannya oleh Allah subhanahu
wa ta'ala, Nabi menerima perintah
dari Allah tentang sholat pada
malam mi'raj (perjalanan ke langit)
tanpa perantara.
Anas berkata: "sholat diwajibkan
kepada Nabi sebanyak 50 reka'at
pada malam ketika beliau
diperjalankan (isra'-mi'raj),
kemudian dikurangi hingga menjadi
tinggal 5 roka'at kemudian ada yang
menyerunya: Wahai Muhammad
hal tersebut tidak seperti harapanku
namun bagimu yang 5 roka'at itu
setara dengan 50
roka'at." (Dikeluarkan oleh Imam
Ahmad, At-Tirmidzi dan An-Nasa'i).
HIKMAH SHOLAT
Sholat disyari'atkan sebagai bentuk
tanda syukur kepada Allah, untuk
menghilangkan dosa-dosa,
ungkapan kepatuhan dan
merendahkan diri di hadapan Allah,
menggunakan anggota badan untuk
berbakti kepada-Nya yang
dengannya bisa seseorang terbersih
dari dosanya dan tersucikan dari
kesalahan-kesalahannya dan
terajarkan akan ketaatan dan
ketundukan.
Allah telah menentukan bahwa
sholat merupakan syarat asasi
dalam memperkokoh hidayah dan
ketakwaan, sebagaimana disebutkan
dalam firman-Nya:
"Alif Laaam Miiim. Kitab (Al Qur-an)
tidak ada keraguan di dalamnya,
menjadi petunjuk bagi mereka yang
bertakwa. Yaitu mereka yang
beriman kepada yang ghaib,
mendirikan sholat dan menafkahkan
sebagian rezki yang Kami
anugerahkan kepada mereka." (QS.
Al Baqarah : 1-2).
Di samping itu Allah telah
mengecualikan orang-orang yang
senantiasa memelihara sholatnya
dari kebiasaan manusia pada
umumnya: berkeluh kesah dan
kurang bersyukur, disebutkan
dalam fiman-Nya:
"Sesungguhnya manusia diciptakan
bersifat keluh kesah dan kikir.
Apabila ia ditimpa kesusahan ia
berkeluh kesah, dan apabila ia
mendapat kebaikan ia amat kikir,
kecuali orang-orang yang
mengerjakan sholat, yang mereka
itu tetap mengerjakan sholat." (QS
Al Ma'arij: 19-22).
KEDUDUKAN SHOLAT
Sholat merupakan salah satu rukun
Islam setelah syahadatain. Dan amal
yang paling utama setelah
syahadatain. Barangsiapa menolak
kewajibannya karena bodoh maka
dia harus dipahamkan tentang
wajibnya sholat tersebut,
barangsiapa tidak meyakini tentang
wajibnya sholat (menentang) maka
dia telah kafir. Barangsiapa yang
meninggalkan sholat karena
menggampang-gampangkan atau
malas, maka wajib baginya untuk
bertaubat kepada Allah.
Bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam:
"Pemisah di antara kita dan mereka
(orang kafir) adalah sholat.
Barangsiapa meninggalkannya maka
sungguh dia telah kafir."(HR.
Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi,
Nasai dan Ibnu Majah).
Sholat dalam Islam mempunyai
kedudukan yang tidak disamai oleh
ibadah-ibadah lainnya. Ia
merupakan tiangnya agama ini.
Yang tentunya tidaklah akan berdiri
tegak kecuali dengan adanya tiang
tersebut.
Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam menegaskan:
"Pondasi (segala) urusan adalah
Islam, dan tiangnya (Islam) adalah
sholat, sedangkan yang
meninggikan martabatnya adalah
jihad fi sabilillah."(HR. Tirmidzi, Ibnu
Majah dan Ahmad. Dishahihkan oleh
Syaikh Al-Albani)
Sholat merupakan kewajiban mutlak
yang tidak pernah berhenti
kewajiban melaksanakannya
sekalipun dalam keadaan takut,
sebagaimana firman Allah Ta'ala
menunjukkan:
"Peliharalah segala sholat(mu), dan
(peliharalah) sholat wustha. Jika
kamu dalam keadaan takut (akan
bahaya), maka sholatlah sambil
berjalan atau berkendaraan.
Kemudian apabila kamu telah aman,
maka sebutlah Allah (sholatlah)
sebagaimana Allah telah
mengajarkan kepadamu apa yang
belum kamu ketahui." (QS. AL-
baqarah : 238 - 239).
Sholat adalah ibadah yang pertama
kali diwajibkan Allah dan nantinya
akan menjadi amalan pertama yang
dihisab di antara malan-amalan
manusia serta merupakan akhir
wasiat Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam, sebagaimana disebutkan
dalam sabdanya:
"Sholat, sholat dan budak-budak
yang kamu miliki."(HR. Ibnu Majah
dan Ahmad. Dishahihkan oleh
Syaikh Al-Albani)
Sholat yang nantinya akan menjadi
amalan terakhir yang hilang dari
agama ini. Jika sholat telah hilang,
berarti hilanglah agama secara
keseluruhan. Untuk itu Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam
mengingatkan dengan sabdanya:
"Tali-tali (penguat) Islam sungguh
akan musnah seikat demi segera
berpegang dengan ikatan berikutnya
(yang lain). Ikatan yang pertama kali
binasa adalah hukum, dan yang
terakhir kalinya adalah sholat."(HR.
Ahmad, Ibnu Hibban dan Al-Hakim.
Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani).
RUKUN-RUKUN SHOLAT
Rukun sholat adalah setiap bagian
sholat yang apabila ketinggalan salah
satunya dengan sengaja atau karena
lupa maka sholatnya batal (tidak sah)
.
1.
Berdiri bagi yang mampu, bila tidak
mampu berdiri maka dengan
duduk, bila tidak mampu duduk
maka dengan berbaring secara
miring atau terlentang.
2.
Takbiratul Ihram ( ) ketika memulai
sholat
3.
Membaca Al Fatihah
4.
Rukuk
5.
I'tidal
6.
Sujud
7.
Bangun dari sujud
8.
Duduk diantara dua sujud
9.
Tuma'ninah dalam setiap rukun
10.
Tasyahud Akhir
11.
Duduk Tasyahud Akhir
12.
Shalawat atas Nabi pada Tasyahud
Akhir
13.
Tertib pada setiap rukun
14.
Salam
HAL YANG WAJIB DALAM SHOLAT
Hal yang wajib dalam sholat adalah
bagian sholat yang apabila
ketinggalan salah satunya dengan
sengaja maka sholatnya batal (tidak
sah), tapi kalau tidak sengaja atau
lupa maka orang yang sholat
diharuskan melakukan sujud sahwi.
1.
Semua takbir selain takbiratul ihram
2.
Melafadzkan : SUBHANA RABBIYAL
A'DZIIM pada saat ruku'
3.
Melafadzkan : SAMI'ALLAHULIMAN
HAMIDAH bagi Imam dan pada saat
sholat sendiri
4.
Melafadzkan : RABBANA WALAKAL
HAMDU bagi Imam, makmum dan
pada saat sholat sendiri
5.
Melafadzkan : SUBHANA RABBIYAL
A'LA pada saat sujud
6.
Melafadzkan : RABIGHFIRLII pada
saat duduk diantara dua sujud
7.
Tasyahud awal
8.
Duduk Tasyahud awal
HAL YANG SUNNAH DALAM
SHOLAT
Hal yang sunnah dalam sholat
adalah bagian sholat yang tidak
termasuk dalam rukun maupun
wajib, tidak membatalkan solat baik
ditinggalkan secara sengaja maupun
lupa.
1.
Mengangkat kedua tangan ketika
takbir.
2.
Membaca do'a istiftah/iftitah
3.
Membaca ta'awudz ketika memulai
qiro'ah (bacaan)
4.
Membaca surat dari Al-Qur'an
setelah membaca Al-Fatihah pada
dua rakaat yang awal
5.
Meletakkan dua tangan pada lutut
selama rukuk
6.
Meletakkan tangan kanan diatas
tangan kiri selama berdiri
7.
Mengarahkan pandangan mata ke
tempat sujud selama sholat (kecuali
waktu tasyahud- pent)
HAL YANG MEMBATALKAN SHOLAT
1.
Berbicara ketika sholat
2.
Tertawa
3.
Makan dan minum
4.
Berjalan terlalu banyak tanpa ada
keperluan
5.
Tersingkapnya aurat
6.
Memalingkan badan dari kiblat
7.
Menambah rukuk, sujud, berdiri
atau duduk secara sengaja
8.
Mendahului imam dengan sengaja
HAL YANG MAKRUH DALAM
SHOLAT
1.
Memejamkan dua mata
2.
Menoleh tanpa keperluan
3.
Meletakkan lengan dilantai ketika
sujud
4.
Banyak melakukan gerakan yang
sia-sia, misal: main-main dengan
jam (melihat jam, mengakurkan
jam, memperbaiki tali jam,
membersihkan jam dll),
mempermainkan baju, atau lainya

Definisi HIJRAH

Definisi Hijrah
Secara literal, kata al-
hijrah merupakan isim
(kata benda) dari fi'il
hajara, yang bermakna
dlidd al-washl (lawan dari
tetap atau sama). Bila
dinyatakan "al-muhajirah
min ardl ila
ardl" (berhijrah dari satu
negeri ke negeri lain);
maknanya adalah "tark
al-ulaa li al-tsaaniyyah" (
meninggalkan negeri
pertama menuju ke
negeri yang kedua).
[Imam al-Raziy, Mukhtaar
al-Shihaah, hal. 690;
Imam Qurthubiy, Tafsir al-
Qurthubiy, juz 3, hal.48].
Menurut istilah umum, al-
hijrah bermakna
berpindah (al-intiqaal)
dari satu tempat atau
keadaan ke tempat atau
keadaan lain, dan
tujuannya adalah
meninggalkan yang
pertama menuju yang
kedua. Adapun konotasi
hijrah menurut istilah
khusus adalah
meninggalkan negeri
kufur (daar al-Kufr), lalu
berpindah menuju negeri
Islam (daar al-Islam). [Al-
Jurjaniy, al-Ta'rifaat, juz 1,
hal 83]. Pengertian
terakhir ini juga
merupakan definisi
syar'iy dari kata al-hijrah.
Memaknai Tahun Baru
Hijriah
Tahun Hijriah dalam
sejarahnya bertitik tolak
dari peristiwa hijrah Nabi
Muhammad saw. dari
Makkah ke Madinah. Para
ulama memahami bahwa
Hijrah Nabi saw. itu
merupakan satu titik baru
pengembangan dakwah
menuju kondisi
masyarakat yang lebih
baik. Sebab, selama
berdakwah di Makkah,
Rasulullah saw. banyak
mengalami kendala
berupa tantangan dan
ancaman dari
masyarakatnya sendiri,
kaum kafir Quraisy.
Kondisi buruk itu terus
berlangsung selama
kurun waktu 13 tahun
sejak Nabi Muhammad
saw. menerima risalah
kerasulan. Pada saat
yang sama, di Madinah
dakwah Rasul saw.
mendapatkan sambutan
yang cukup baik. Beliau
pun melihat adanya
peluang bagi tegaknya
kekuasaan Islam di sana.
Oleh karena itu, Nabi saw.
pun—sesuai perintah
Allah—melakukan hijrah;
beliau meninggalkan
tanah kelahirannya di
Makkah menuju Madinah.
Di Madinahlah Rasulullah
saw. Berhasil
memantapkan dakwah
Islam sekaligus
menegakkan kekuasaan
Islam dalam institusi
Daulah Islamiyah.
Momentum Kebangkitan
Islam
Adalah ironis, apabila
umat Islam gagal
memanfaatkan tahun
baru Islam. Ini kerana,
keberadaan tahun hijriah
mempunyai konotasi
kepada perkembangan
Islam yang amat
signifikan. Ia adalah detik
permulaan era baru. Detik
hijrahnya nabi ke
Madinah yang akhirnya
ditandai dengan lahirnya
sebuah negara Islam.
Kemudian, dari saat itulah
Islam terus berkembang
sampai saat ini.
Firman Allah s.w.t lewat
surah an-Nahl ayat 41
yang bermaksud: “Dan
orang-orang yang
berhijrah kerena Allah,
sesudah mereka dianiaya
(ditindas oleh musuh-
musuh Islam), Kami akan
menempatkan mereka di
dunia ini pada tempatnya
yang baik,”
Sambutan tahun Hijriah
mestilah difahami dari
kaca mata yang Islam
kehendaki. Bukan hanya
dengan dendangan
nasyid ataupun
pengkisahan peristiwa
Hijrah saja, akan tetapi
yang lebih utama adalah
mengerti maksud dan
kehendak hijrah. Itulah
roh atau semangat hijrah
yang tidak akan padam
hingga kini.
Hakikatnya hijrah
mengandung arti :
pengorbanan, keikhlasan,
kekuatan, keyakinan dan
keberanian. Hijrah juga
mengandung unsur
kebijaksanaan,
perencanaan dan strategi;
namun akhirnya
meletakkan penyerahan
diri sepenuhnya kepada
Allah SWT. Itulah
dinamakan konsep usaha,
doa dan tawakal.
Lama sebelum terjadinya
hijrah, Nabi Muhammad
SAW sudah mengatur
strategi dengan
penduduk Madinah.
Beberapa kali perjanjian
telah dibuat, sehinggalah
nabi benar-benar
meyakini kesanggupan
mereka untuk menjadi
‘mitra kerja’ dan
‘pengikut’ yang setia.
Kemudian, nabi mengatur
kaedah paling baik dalam
melaksanakan hijrah,
sehingga mengaburkan
pihak musuh.
Cuba kita fikirkan, para
sahabat telah diminta
berhijrah terlebih dahulu
sedang nabi masih di
rumahnya. Ia
menyebabkan musuh-
musuh memberikan
tumpuan kepada nabi
dan sekaligus tidak begitu
mengganggu hijrah para
sahabat. Kemudian, nabi
juga merencanakan
beberapa strategi lain.
Siapakah yang akan tidur
di tempat tidur nabi, siapa
yang akan menjadi
pemandu dan apakah
kemungkinan-
kemungkinanyang bakal
terjadi.
Sejarah mencatat, betapa
keterlibatan anak muda
seperti Ali bin Abu Talib
dan Asma’ binti Abu
Bakar, adalah bukti
bahwa remaja adalah
aset yang mampu
menyumbang kepada
kebangkitan Islam.
Bahkan, keterlibatan
seorang lelaki yang
bukannya beragama
Islam, Abdullah bin Uraiqit
sebagai pemandu jalan,
juga membuktikan Islam
tidaklah memusuhi
semua orang-orang
bukan Islam. Bahkan
mereka yang baik boleh
diangkat sebagai kawan.
Begitu juga usaha nabi
dan Abu Bakar, yang
sengaja mengambil
haluan ke arah selatan
Mekah dan bukannya
arah Utara sebagaimana
biasa, kemudian menuju
Tihama berdekatan
pantai Laut Merah, adalah
satu strategi untuk
mengelabuhi musuh. Ia
mampu menimbulkan
perpecahan di kalangan
musuh yang bertengkar
dengan arah yang
diambil oleh nabi. Ia
menunjukkan, Islam
mementingkan
kebijaksanaan dalam
rancangan.
Kini, umat Islam tidak
perlu meraba-raba dalam
mencari arah dan
pedoman. Peristiwa hijrah
yang berlaku lebih dari
1400 tahun itu, sudah
menyediakan contoh
kepada kita. Seandainya
kita ingin maju, maka
mulailah dengan
perencanaan yang baik.
Namun perencanaan
yang baik, masih perlu
didukung dengan
pelaksanaan yang baik
pula dari semua pihak
dan juga harus disertai
dengan do’a dan
tawakkal kepada Allah
SWT.
Umat Islam juga
sewajarnya menobatkan
Tahun Islam ini sebagai
mukaddimah
membaharui azam dan
cita-cita. Apakah
sepanjang tahun lalu
sudah terealisasi segala
azam dan cita-cita itu
ataukah masih banyak
bersifat angan-angan
kosong belaka. Ini
kerena, berkat keazaman
dari Rasulullah SAW
melaksanakan hijrah,
maka kita mendapat
kebaikannya hingga kini.
Di samping itu, hijrah juga
menunjukkan Islam
mampu menyatukan
semua umat walaupun
berbeda keturunan.
Siapakah yang dapat
menyangkal, hijrah telah
menyatukan kaum
Anshar dan Muhajirin:
"Dan orang-orang yang
beriman dan berhijrah
serta berjihad pada jalan
Allah, dan orang-orang
yang memberi tempat
kediaman dan memberi
pertolongan (kepada
orang-orang muhajirin),
mereka Itulah orang-
orang yang benar-benar
beriman. mereka
memperoleh ampunan
dan rezki (nikmat) yang
mulia," (al-Anfal: 74)
Jelaslah, hijrah mampu
memberikan pedoman
buat kita sepanjang
zaman sebagai
momentum kebangkitan
Islam. Syaratnya, jika kita
mau menggali makna
hijrah yang hakiki. Jika
tidak, hijrah hanya tinggal
catatan sejarah belaka,
tanpa memberikan
perubahan yang
signifikan dalam hidup
dan kehidupan kita.
Wallahu A’lamu bishowab.

JIHAD

TAKRIF Al-JIHAD MENURUT
BAHASA
Al-Jihaad adalah Masdar dari fi’il
Ruba’iy: Jaahada berdasarkan
wazan fi’il yang bermakna Al-
Mufaa’alatu min Thorfayin
(Saling berbuat dari kedua belah
pihak) seperti perkataan Al-Jidal
yang bermakna Al-Mujaadalah
masdar dari perkataan Jaadal .
Dari fi’il Thulathi bagi perkataan
Jihad adalah Jahida masdarnya
Al-Jahdu artinya At-Thooqot
(kekuatan), dan masdarnya Al-
Juhdu artinya Al-Masyaqqot
(jerih payah).
Dan didalam Lisanul Arab :
dikatakan Al-Jahdu (Al-Jahd)
artinya Al-Masyaqqot (jerih payah),
dan Al-Juhdu (Al-Juhd) artinya
At-Thooqot (kekuatan). Dan
dalam Lisanul Arab juga terdapat
perkataan Al-Jihaad maknanya :
Istifrooghu maa fiil wus’i
wattooqoti min qaulin aw fi’li
(Mencurahkan segenap tenaga dan
kekuatan baik berupa Ucapan
maupun Perbuatan).
Penulis Munjid mengatakan:
Jaahada Mujaahadatan wa
Jihaadan artinya Badzala wus’ah
(Mengerahkan tenaganya) dan
asalnya: Badzala kullum
minhumaa juhdahu fii daf’i
shohibih (Masing-masing di
antara keduanya mengerahkan
kekuatannya dalam menolak
pasangannya).
Dan didalam tafsir An-Naisabury :
Dan yang shahih sesungguhnya
Al-Jihaad adalah Badzlul
Majhuudi fii Husuulil
Maqshoudi (mengerahkan segala
jerih payah untuk mencapai
tujuan).
Dari beberapa makna bahasa
diatas dapat diperoleh Ta’rif
Lughowi yang merupakan hakikat
lughowiyyah bagi perkataan Al-
Jihaad yaitu: Al-Jihaadu Huwa
Istifrooghul Wus’i fiil
Mudaafa’ati Bayna Thorofaina
Walau Taqdiiroon “Jihad adalah
pengerahan kekuatan yang
didalamnya saling tolak menolak
antara dua kutub walaupun pada
takdirnya (bukan pada zahirnya).”
Yang dimaksud dengan takdirnya
ialah Jihadul Ihsan terhadap
dirinya, yaitu: bahawa di dalam diri
manusia itu ada dua kutub, ketika
kedua keinginan yang saling
berlawanan bertemu di dalam
dirinya, maka masing masing
berjihad untuk mengalahkan yang
lain.
TAKRIF Al-JIHAD MENURUT
ISTILAH SYARAK:
“Bahawasannya Jihad itu jika
dinyatakan secara mutlak tanpa
qayyid maksudnya adalah Qital
(Perang) dan mengerahkan
kemampuan daripadanya untuk
meninggikan kalimatullah. Dan
ta’rif Jihad yang lebih mendasar
dan lebih mencakup adalah yang
dinyatakan dalam Mazhab Hanafi
yaitu: Mencurahkan
kemampuan dan kekuatan
dengan berperang di jalan
Allah SWT, dengan jiwa, harta
dan lisan dan selain itu.” (Al-
Kisani, Badai’u Ash-Shanai’i
9/4299)
Ibnu Rusyd mengatakan:
“ Setiap orang yang meletihkan
dirinya di dalam mentaati Allah,
maka sungguh ia telah berjihad di
jalanNya, kecuali bahawasanya
perkataan ‘Jihad fie Sabilillah’ bila
dinyatakan secara mutlak, maka
dengan kemutlakannya itu tidak
dapat diartikan selain dari:
Memerangi orang orang kafir
dengan pedang, hingga
mereka masuk kedalam
agama Islam atau membayar
Jizyah dari tangan mereka,
sedang mereka dalam
keadaan hina.” (Muqaddimah
Ibnu Rusyd 1/369)
Dan perkataan ‘fie Sabilillah’ jika
dinyatakan secara mutlak atas
sesuatu perbuatan, yang
dimaksud adalah Jihad yang
maknanya Perang. Oleh karena
itu kita lihat banyak para ulama
penyusun berbagai kitab
mencantumkan hadist-hadist yang
mengandung perkataan ‘fie
Sabilillah’ didalam bab-bab Jihad.
Misalnya Hadist:
“Sesiapa yang berpuasa sehari fie
sabilillah niscaya Allah
menjauhkan mukanya dari api
neraka 70 tahun
perjalanan.” (Fathul Bari no. 2840,
Kitabul Jihad, Bab Fadlus Soum
fie Sabilillah 6/47)
Untuk lebih menyakinkan kita rujuk
kitab kitab: Shahih Bukhari, Sunan
Nasai, Sunan Tirmidzi, At-Targhib
wat Tarhib, dan lain-lain
Ibnu Hajar berkata:
“Dan yang tidak memerlukan
pemikiran yang panjang untuk
memahami lafaz ‘fie sabilillah
adalah Jihad.”
Sumber: Abu Aqeeda

Sabtu, November 27, 2010

FUTUR

Umar ra. Pernah bercakap-cakap
bersama Hudzaifah sebelum beliau
ditikam oleh Abu Lu ’lu Majusi,
Hudzaifah bercerita, “Ketika kami
duduk dekat Umar, ia berkata,
“ siapa di antara kalian yang
menyimpan perkataan Rasulullah
SAW tentang fitnah. ” Hudzaifah
berkata, “Fitnah seseorang dalam
berkeluarga, hartanya, anak-
anaknya dan tetangganya. Ia dapat
dihapus dengan shalat, shodaqoh,
amar ma ’ruf dan nahyul mungkar.
Kemudian Umar ra. Berkata, ”
Bukan itu yang aku tanyakan, akan
tetapi fitnah yang menggelombang
seperti gelombang laut. ” Maka
Hudzaifah berkata, ”Engkau tidak
akan terkena olehnya wahai amirul
mukminin. Sesungguhnya
antaramu dan fitnah tersebut ada
sebuah pintu yang tertutup. ” Umar
berkata, ”Apakah kelak pintu
tersebut pecah atau terbuka?”
Hudzaifah menjawab, ” Ia akan
pecah.” Lantas Umar berkata lagi,
”Kalau demikian suda tidak
mungkin tertutup lagi selamanya.
” Hudzaifah berkata, ”Benar.”
Berkata Syaqiq yang
meriwayatkan dari Hudzaifah,
” Kami bertanya kepada Hudzaifah,
”Apakah Umar mengetahui siapa
yang dimaksud ’pintu’ itu?”
Hudzaifah menjawab, ”Ya, seperti
ia mengetahui bahwa ada malam
esok hari. Hal itu dikarenakan aku
telah berbicara kepadanya tentang
sebuah hadist tanpa keliru. ” Kami
ingin sekali mengetahui siapa pintu
itu, kemudian kami perintahkan
Masruq, dan bertanya kepada
Hudzaifah, ”Siapakah pintu itu?”
Hudzaifah menjawab,
” Umar.” (HR. Bukhori)
Setelah pembicaraan diatas, maka
sudah sepatutnya kita berbicara
tentang futurnya unsur-unsur
yang bekerja menegakkan islam
dengan penuh hati-hati serta
pandangan yang jauh. Hal itu tidak
lain demi kemashalatan mereka
dan kemashalatan dakwah yang
komit dengannya.
Simaklah lantunan doa Umar Ra
memohon perlindungan dari
kelemahan yang menimpa kaum
muslimin :
”Ya Allah sesungguhnya
aku berlindung kepada-
Mu dari paksaan orang
fasik dan melemahnya
rasa percaya. ”
Pengertian Futur
Secara Etimologi arti futur
adalah : diam setelah giat dan
lemah setelah semangat.
Ketika membahas kisah
Zainab ra. Yang meletakkan
seutas tali untuk dapat
digunakan sebagai tempat
bergantung jika datang masa
futurnya. Ibnu Hajar
mengungkapkan arti futur
dalam kalimat tersebut
adalah : Rasa malas untuk
berdiri melaksanakan shalat.
Menurut Ibnu Al-Atsir,
pengertian futur dalam hal ini
adalah semua keadaan diam,
menyedikitnya porsi
beribadah dan
mengurangnya semangat.
Secara Terminologis futur
adalah sebuah kendala yang
menimpa para aktivis
dakwah. Efek terburuknya
berupa,
” inqitha” (terputusnya
aktivitas) setelah istimrar
(kontinu) dilaksanakan.
Sedangkan efek minimalnya
adalah timbulnya sikap acuh,
berkembangnya rasa malas,
berlambat-lambat dan santai,
dimana sikap tersebut datang
setelah sikap giat bergerak.
Fenomena futur sebenarnya
masalah yang pasti hadir
tanpa ada seorangpun yang
dapat mengelak darinya.
Sebagaimana tersirat dalam
hadist Rasulullah SAW
kepada Abdullah bin Amr bin
Ash ra. :
”Wahai Abdullah,
janganlah engkau
seperti fulan, sebelum
ini ia rajin bangun pada
malam hari (shalat
tahajud), namun
kemudian ia tinggalkan
sama sekali.” (HR.
Bukhari)
Rasulullah SAW pernah
bersabda pada riwayat dari
Abdullah bin Amr bin Ash ra :
”Setiap amal itu ada
masa semangat dan ada
masa lemahnya.
Barangsiapa yang pada
masa lemahnya ia tetap
dalam sunnah
(petunjuk) ku, maka dia
telah beruntung. Namun
barangsiapa yang
beralih kepada selain itu,
berarti ia telah
celaka. ” (Musnad Imam
Ahmad)
Ibnu Qayyim berkata, ”Saat-
saat futur bagi seseorang
yang beramal adalah hal
wajar yang harus terjadi.
Seseorang masa futurnya
lebih membawa ke arah
muraqabah (pengawasan
oleh Allah) dan pembenahan
langkah, selama ia tidak
keluar dari amal-amal fardhu
dan tidak melaksanakan
sesuatu yang diharamkan
oleh Allah, diharapkan ketika
pulih ia akan berada dalam
kondisi yang lebih baik dari
keadaan sebelumnya.
Sekalipun sebenarnya,
aktivitasn ibadahnya yang
disukai Allah adalah yang
dilakukan secara rutin oleh
seorang hamba tanpa
terputus. ” (Madarij As-Salikin)
Fenomena Futur
1. Kita sering mendapati seorang
muslim yang berusaha
memelihara diri dari kotoran
najis, namun ia tidak
memelihara diri dari kotoran
’ ghibah’ dan dusta. Ada
manusia yang banyak
mengeluarkan sedekah,
namun ia tidak peduli
mempraktekkan transaksi riba.
2. Memfokuskan perhatian pada
forum perdebatan akal dalam
memerangi syubhat yang
dihembuskan oleh kaum ateis
dan para sekularis, kemudian
sangat mengandalkan suatu
predikat ilmiah saja diatas
sikap semangat dan ikut
bergerak dalam blantika
dakwah. Artinya kehebatan
intelektual tanpa didukung
dengan gerak, amal dan jihad.
3. Berlebihan dan melewati batas
dalam melakukan sesuatu
yang mubah (dibolehkan).
Firman Allah SWT : ”Hai anak
Adam pakailah pakaianmu
yang indah setiap (memasuki)
masjid, makan dan minumlah
dan janganlah berlebih-
lebihan. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang yang
berlebih-lebihan.” (Al-A’raf : 31)
. Rasulullah SAW bersabda :
” Tidaklah seorang anak Adam
mengisi suatu wadah yang
buruk daripada perutnya. ”
4. Terpuruk dibawah
penguasaan setan lewat celah
keragu-raguan yang
dihembuskan kepada
seseorang kemudian
mengakibatkan menjadi
berlambat-lambat. Rasulullah
bersabda : ”Tidaklah suatu
kaum suka memperlambat
sampai Allah menjadikannya
lambat. ” (HR. Turmudzi)
5. Merasakan kekasaran dan
kesesatan hati. Sampai
keadaan dimana seseorang
dapat merasakan bahwa
dirinya telah turut menjadikan
hatinya kesat disebabkan
ruhaninya yang lemah. Jika
keadaan tersebut terlalu lama,
maka akan menjadi terbiasa
dan tanpa disadari sampai
hatinya mati. Matinya hati
mengkibatkan punahnya
pengaruh janji serta ancaman
yang terdapat dalam ayat-ayat
Al Qur ’an. Hati menjadi tidak
bergeming dengan nasihat
dari kejadian realita yang dapat
dijadikan ibrah.
6. Perasaan segan untuk
melaksanakan perbuatan baik
dan beribadah. Orang yang
menderita futur secara jelas
akan bersikap menyepelekan
nilai dan praktek ibadah.
7. Tidak agresif dan pro-aktif
dalam menjalani tugas-tugas
yang diembankan kepada
dirinya.
Ditulis oleh lauthfi

Rabu, November 24, 2010

Definisi Iman

Pengertian iman secara bahasa
menurut Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
adalah pengakuan yang
melahirkan sikap menerima dan
tunduk. Kata beliau makna ini
cocok dengan makna iman dalam
istilah syari ’at. Dan beliau
mengkritik orang yang memaknai
iman secara bahasa hanya sekedar
pembenaran hati (tashdiq) saja
tanpa ada unsur menerima dan
tunduk. Kata ’iman’ adalah fi’il lazim
(kata kerja yang tidak butuh objek),
sedangkan tashdiq adalah fi ’il
muta’addi (butuh objek) (Lihat
Syarh Arba’in, hal. 34)
Adapun secara istilah, dalam
mendefinisikan iman manusia
terbagi menjadi beragam pendapat
[dikutip dari Al Minhah Al Ilahiyah,
hal. 131-132 dengan sedikit
perubahan redaksional] :
Pertama
Imam Malik, Asy Syafi’i, Ahmad,
Al Auza’i, Ishaq bin Rahawaih, dan
segenap ulama ahli hadits serta
ahlul Madinah (ulama Madinah) –
semoga Allah merahmati mereka-
demikian juga para pengikut
madzhab Zhahiriyah dan sebagian
ulama mutakallimin berpendapat
bahwa definisi iman itu adalah :
pembenaran dengan hati,
pengakuan dengan lisan, dan amal
dengan anggota badan. Para
ulama salaf –semoga Allah
merahmati mereka- menjadikan
amal termasuk unsur keimanan.
Oleh sebab itu iman bisa
bertambah dan berkurang,
sebagaimana amal juga
bertambah dan berkurang (lihat
Kitab Tauhid li Shaff Ats Tsaani Al
‘ Aali, hal. 9).
Kedua
Banyak di antara ulama madzhab
Hanafi yang mengikuti definisi
sebagaimana yang disebutkan oleh
Ath Thahawi rahimahullah yang
mengatakan bahwa iman itu
pengakuan dengan lisan dan
pembenaran dengan hati.
Ketiga
Ada pula yang mengatakan bahwa
pengakuan dengan lisan adalah
rukun tambahan saja dan bukan
rukun asli. Inilah pendapat Abu
Manshur Al Maturidi rahimahullah,
dan Abu Hanifah pun diriwayatkan
memiliki sebuah pendapat seperti
ini.
Keempat
Sekte Al Karramiyah mengatakan
bahwa iman itu hanya pengakuan
dengan lisan saja! Maka dari definisi
mereka ini orang-orang munafiq
itu dinilai sebagai orang-orang
beriman yang sempurna
keimanannya, akan tetapi menurut
mereka orang-orang munafiq itu
berhak mendapatkan ancaman
yang dijanjikan oleh Allah untuk
mereka! Pendapat mereka ini
sangat jelas kekeliruannya.
Kelima
Jahm bin Shafwan dan Abul Hasan
Ash Shalihi –salah satu dedengkot
sekte Qadariyah- berpendapat
bahwa iman itu cukup dengan
pengetahuan yang ada di dalam
hati! [Dan inilah yang diyakini oleh
kaum Jabariyah, lihat. Syarh
‘ Aqidah Wasithiyah, hal. 163].
Pendapat ini jauh lebih jelas
kerusakannya daripada pendapat
sebelumnya! Sebab kalau pendapat
ini dibenarkan maka
konsekuensinya Fir ’aun beserta
kaumnya menjadi termasuk
golongan orang-orang yang
beriman, karena mereka telah
mengetahui kebenaran Musa dan
Harun ‘alaihimash sholatu was
salam dan mereka tidak mau
beriman kepada keduanya. Karena
itulah Musa mengatakan kepada
Fir ’aun, ”Sungguh kamu telah
mengetahui dengan jelas bahwa
tidaklah menurunkan itu semua
melainkan Rabb pemilik langit dan
bumi. ” (QS. Al Israa’ [17] : 102).
Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), ”Mereka telah
menentangnya, padahal diri
mereka pun meyakininya, hal itu
dikarenakan sikap zalim dan
perasaan sombong. Maka
perhatikanlah bagaimana
kesudahan orang-orang yang
melakukan kerusakan itu.” (QS. An
Naml [27] : 14). Bahkan iblis pun
dalam pengertian Jahm ini juga
termasuk kaum beriman yang
sempurna imannya! Karena ia
tidaklah bodoh tentang Rabbnya,
bahkan dia adalah sosok yang
sangat mengenal Allah (yang
artinya), ”Iblis berkata,’Rabbku,
tundalah kematianku hingga hari
mereka dibangkitkan nanti. ’.” (QS.
Al Hijr [15] : 36). Dan hakekat
kekufuran dalam pandangan Jahm
ini adalah ketidaktahuan tentang
Allah ta ’ala, padahal tidak ada yang
lebih bodoh tentang Rabbnya
daripada dia! ….
Imam Asy Syafi’i rahimahullah
berkata, “Iman itu meliputi
perkataan dan perbuatan. Dia bisa
bertambah dan bisa berkurang.
Bertambah dengan sebab ketaatan
dan berkurang dengan sebab
kemaksiatan. ” Imam Ahmad bin
Hanbal rahimahullah berkata,
“ Iman bisa bertambah dan bisa
berkurang. Ia bertambah dengan
melakukan amal, dan ia berkurang
dengan sebab meninggalkan
amal. ” (Perkataan dua orang imam
ini bisa dilihat di Al Wajiz fii ‘Aqidati
Salafish shalih, hal. 101-102) Bahkan
Imam Bukhari rahimahullah
mengatakan, “Aku telah bertemu
dengan lebih dari seribu orang
ulama dari berbagai penjuru
negeri, aku tidak pernah melihat
mereka berselisih bahwasanya
iman adalah perkataan dan
perbuatan, bisa bertambah dan
berkurang.” (Lihat Fathul Baari,
I/60)
Penjelasan definisi iman
‘Iman itu berupa pembenaran hati’
artinya hati menerima semua
ajaran yang dibawa oleh Rasul
shallallahu ‘alahi wa sallam.
‘Pengakuan dengan lisan’ artinya
mengucapkan dua kalimat
syahadat ‘asyhadu an la ilaha
illallah wa asyhadu anna
Muhammadar rasulullah’.
Sedangkan ‘perbuatan dengan
anggota badan’ artinya amal hati
yang berupa keyakinan-keyakinan
dan beramal dengan anggota
badan yang lainnya dengan
melakukan ibadah-ibadah sesuai
dengan kemampuannya (Lihat
Kitab At Tauhid li Shaff Ats Tsaani
Al ‘Aali, hal. 9)
Dan salah satu pokok penting dari
aqidah Ahlus sunnah wal jama ’ah
ialah keyakinan bahwa iman itu
bertambah dan berkurang (Lihat
Fathu Rabbbil Bariyah, hal. 102).
Hal ini telah ditunjukkan oleh dalil-
dalil dari Al Kitab maupun As
Sunnah. Salah satu dalil dari Al
Kitab yaitu firman Allah ta’ala (yang
artinya), “Agar bertambah
keimanan mereka di atas keimanan
mereka yang sudah ada. ” (QS. Al
Fath [48] : 4).
Dalil dari As Sunnah di antaranya
adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam tentang sosok kaum
perempuan, ”Tidaklah aku melihat
suatu kaum yang kurang akal dan
agamanya dan lebih cepat
membuat hilang akal pada diri
seorang lelaki yang kuat daripada
kalian ini (kaum perempuan). ” (HR.
Al Bukhari dan Muslim).
Maka ayat di atas menunjukkan
penetapan bahwa iman itu bisa
bertambah, sedangkan di dalam
hadits tersebut terdapat penetapan
tentang berkurangnya agama.
Sehingga masing-masing dalil ini
menunjukkan adanya
pertambahan iman. Dan secara
otomatis hal itu juga mengandung
penetapan bisa berkurangnya
iman, begitu pula sebaliknya.
Sebab pertambahan dan
pengurangan adalah dua hal yang
tidak bisa dipisah-pisahkan. Tidak
masuk akal keberadaan salah
satunya tanpa diiringi oleh yang
lainnya.
Dengan demikian dalam
pandangan ahlus sunnah definisi
iman memiliki 5 karakter :
keyakinan, ucapan, amal, bisa
bertambah, dan bisa berkurang.
Atau bisa diringkas menjadi 3 :
keyakinan, ucapan, dan amal.
Karena amal bagian dari iman,
secara otomatis iman bisa
bertambah dan berkurang. Atau
bisa diringkas lebih sedikit lagi
menjadi 2 : ucapan dan amal,
sebab keyakinan sudah termasuk
dalam amal yaitu amal hati.
Wallahu a ’lam.
Penyimpangan dalam
mendefinisikan iman
Keyakinan bahwa iman bisa
bertambah dan berkurang adalah
aqidah yang sudah paten, tidak
bisa diutak-atik atau ditawar-tawar
lagi. Meskipun demikian, ada juga
orang-orang yang menyimpang
dari pemahaman yang lurus ini.
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
rahimahullah menjelaskan bahwa
orang-orang yang menyimpang
tersebut terbagi menjadi dua
kelompok yaitu : Murji ’ah dan
Wai’diyah.
Murji’ah tulen mengatakan
bahwa iman itu cukup dengan
pengakuan di dalam hati, dan
pengakuan hati itu menurut
mereka tidak bertingkat-tingkat.
Sehingga menurut mereka orang
yang gemar bermaksiat (fasik)
dengan orang yang salih dan taat
sama saja dalam hal iman.
Menurut orang-orang Murji ’ah
amal bukanlah bagian dari iman.
Sehingga cukuplah iman itu
dengan modal pengakuan hati dan
ucapan lisan saja. Konsekuensi
pendapat mereka adalah pelaku
dosa besar termasuk orang yang
imannya sempurna. Meskipun dia
melakukan kemaksiatan apapun
dan meninggalkan ketaatan
apapun. Madzhab mereka ini
merupakan kebalikan dari
madzhab Khawarij. (lihat Syarh
Lum’atul I’tiqad, hal. 161-163, Syarh
‘Aqidah Wasithiyah, hal. 162).
Wa’idiyah yaitu kaum Mu’tazilah
[Mereka adalah para pengikut
Washil bin ‘Atha’ yang beri’tizal
(menyempal) dari majelis
pengajian Hasan Al Bashri. Dia
menyatakan bahwa orang yang
melakukan dosa besar itu di dunia
dihukumi sebagai orang yang
berada di antara dua posisi
(manzilah baina manzilatain), tidak
kafir tapi juga tidak beriman. Akan
tetapi menurutnya di akherat
mereka akhirnya juga akan kekal di
dalam Neraka, lihat Syarh Lum ’atul
I’tiqad, hal. 161-163] dan Khawarij
mengatakan bahwa pelaku dosa
besar telah keluar dari lingkaran
iman. Mereka mengatakan bahwa
iman itu kalau ada maka ada
seluruhnya dan kalau hilang maka
hilang seluruhnya. Mereka
menolak keyakinan bahwa iman
itu bertingkat-tingkat. Orang-orang
Mu ’tazilah dan Khawarij
berpendapat bahwa iman itu
adalah : pembenaran dengan hati,
pengakuan dengan lisan, dan amal
dengan anggota badan, akan tetapi
iman tidak bertambah dan tidak
berkurang (lihat Thariqul wushul ila
idhahi Tsalatsati Ushul, hal. 169).
Sehingga orang Mu ’tazilah
menganggap semua amal adalah
syarat sah iman (lihat catatan kaki
Al Minhah Al Ilahiyah, hal. 133).
Dengan kata lain, menurut mereka
pelaku dosa besar keluar dari Islam
dan kekal di neraka (lihat Syarh
‘Aqidah Wasithiyah, hal. 163).
Kedua kelompok ini sudah jelas
terbukti kekeliruannya baik dengan
dalil wahyu maupun dalil akal.
Adapun wahyu, maka dalil-dalil
yang menunjukkan bertambah
dan berkurangnya iman sudah
disebutkan… (Lebih lengkap lihat
Fathu Rabbil Bariyah, hal. 103-104).
Ditulis oleh Ari Wahyudi

Selasa, November 23, 2010

Definisi alqur'an

Ta’riful Qur’an
Menurut bahasa, “Qur’an”
berarti “bacaan”, pengertian
seperti ini dikemukakan
dalam Al-Qur’an sendiri
yakni dalam surat Al-
Qiyamah, ayat 17-18:
“Sesungguhnya
mengumpulkan Al-Qur’an (di
dalam dadamu) dan
(menetapkan) bacaannya
(pada lidahmu) itu adalah
tanggungan kami. (Karena
itu), jika kami telah
membacakannya, hendaklah
kamu ikuti bacaannya”.
Adapun menurut istilah Al-
Qur’an berarti: “Kalam Allah
yang merupakan mu’jizat
yang diturunkan kepada nabi
Muhammad, yang
disampaikan secara
mutawatir dan membacanya
adalah ibadah”.
Kalamullah
Al-Qur’an adalah kalamullah,
firman Allah ta’ala. Ia
bukanlah kata-kata manusia.
Bukan pula kata-kata jin,
syaithan atau malaikat. Ia
sama sekali bukan berasal
dari pikiran makhluk, bukan
syair, bukan sihir, bukan pula
produk kontemplasi atau
hasil pemikiran filsafat
manusia. Hal ini ditegaskan
oleh Allah ta’ala dalam Al-
Qur’an surat An-Najm ayat
3-4:
“…dan tiadalah yang
diucapkannya itu (Al-Qur’an)
menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu
tiada lain hanyalah wahyu
yang diwahyukan
(kepadanya)…”
Tentang kesucian dan
keunikan Al-Qur’an ini
perhatikanlah kesaksian
objektif Abul Walid[1]
seorang jawara sastra pada
masa Nabi saw: “Aku belum
pernah mendengar kata-kata
yang seindah itu. Itu
bukanlah syair, bukan sihir
dan bukan pula kata-kata ahli
tenung. Sesungguhnya Al-
Qur’an itu ibarat pohon yang
daunnya rindang, akarnya
terhujam ke dalam tanah.
Susunan kata-katanya manis
dan enak didengar. Itu
bukanlah kata-kata manusia,
ia tinggi dan tak ada yang
dapat mengatasinya.”
Demikian pernyataan Abul
Walid.
Mu’jizat
Mu’jizat artinya suatu perkara
yang luar biasa, yang tidak
akan mampu manusia
membuatnya karena hal itu
di luar kesanggupannya.
Mu’jizat itu dianugerahkan
kepada para nabi dan rasul
dengan maksud menguatkan
kenabian dan kerasulannya,
serta menjadi bukti bahwa
agama yang dibawa oleh
mereka benar-benar dari
Allah ta’ala.
Al-Qur’an adalah mu’jizat
terbesar Nabi Muhammad
saw. Kemu’jizatannya itu
diantaranya terletak pada
fashahah dan balaghah-nya,
keindahan susunan dan gaya
bahasanya yang tidak ada
tandingannya. Karena gaya
bahasa yang demikian itulah
Umar bin Khatthab masuk
Islam setelah mendengar Al-
Qur’an awal surat Thaha
yang dibaca oleh adiknya
Fathimah. Abul Walid,
terpaksa cepat-cepat pulang
begitu mendengar beberapa
ayat dari surat Fushshilat.[2]
Karena demikian tingginya
bahasa Al-Qur’an, mustahil
manusia dapat membuat
susunan yang serupa
dengannya, apalagi
menandinginya. Orang yang
ragu terhadap kebenaran Al-
Qur’an sebagai firman Allah
ditantang oleh Allah ta’ala:
“Dan jika kamu (tetap) dalam
keraguan tentang Al-Quran
yang kami wahyukan kepada
hamba kami (Muhammad)
buatlah satu surat (saja) yang
semisal Al-Qur’an itu dan
ajaklah penolong-
penolongmu selain Allah, jika
kamu orang-orang yang
memang benar.” (QS. Al-
Baqarah: 23)
Allah sendiri kemudian
menegaskan bahwa tidak
akan pernah ada seorang
pun yang mampu
menjawab tantangan ini (QS.
2: 24). Bahkan seandainya
bekerjasama jin dan manusia
untuk membuatnya, tetap
tidak akan sanggup (QS. 17:
88).
Selain itu, kemukjizatan Al-
Qur’an juga terletak pada
isinya. Perhatikanlah, sampai
saat ini Al-Qur’an masih
menjadi sumber rujukan
utama bagi para pengkaji
ilmu sosial, sains, bahasa,
atau ilmu-ilmu lainnya.
Menurut Miftah Faridl, banyak
ayat-ayat Al-Qur’an yang
berhubungan dengan ilmu
pengetahuan dapat
meyakinkan kita bahwa Al-
Qur’an adalah firman Allah,
tidak mungkin ciptaan
manusia, apalagi ciptaan Nabi
Muhammad saw yang
ummi (7: 158) yang hidup
pada awal abad ke enam
Masehi (571-632 M)[3]
Berbagai kabar ghaib tentang
masa lampau (tentang
kekuasaan di Mesir, Negeri
Saba’, Tsamud, ‘Ad, Yusuf,
Sulaiman, Dawud, Adam,
Musa, dll) dan masa depan
pun menjadi bukti lain
kemu’jizatan Al-Qur’an.
Sementara itu jika kita
perhatikan cakupan
materinya, nampaklah
bahwa Al-Qur’an itu
mencakup seluruh aspek
kehidupan: masalah aqidah,
ibadah, hukum
kemasyarakatan, etika, moral
dan politik, terdapat di
dalamnya.
Al-Munazzalu ‘ala qalbi
Muhammad saw
Al-Qur’an itu diturunkan
khusus kepada Nabi
Muhammad saw. Sedangkan
kalam Allah yang diturunkan
kepada nabi-nabi selain Nabi
Muhammad saw—seperti
Taurat yang diturunkan
kepada Nabi Musa atau Injil
yang diturunkan kepada Nabi
Isa—tidak bisa dinamakan
dan disebut sebagai Al-
Qur’an. Demikian pula hadits
qudsi[4] tidak bisa disamakan
dengan Al-Qur’an.
Al-Qur’an diturunkan Allah
ta’ala kepada Nabi
Muhammad saw dengan
berbagai cara[5]:
1. Berupa impian
yang baik waktu
beliau
tidur.Kadang-
kadang wahyu itu
dibawa oleh
malaikat Jibril
dengan
menyerupai bentuk
manusia laki-laki,
lalu menyampaikan
perkataan (firman
Allah) kepada
beliau.
2. Kadang-kadang
malaikat pembawa
wahyu itu
menampakkan
dirinya dalam
bentuk yang asli
(bentuk malaikat),
lalu mewahyukan
firman Allah
kepada beliau.
3. Kadang-kadang
wahyu itu
merupakan bunyi
genta. Inilah cara
yang paling berat
dirasakan beliau.
4. Kadang-kadang
wahyu itu datang
tidak dengan
perantaraan
malaikat, melainkan
diterima langsung
dari Hadirat Allah
sendiri.
5. Sekali wahyu itu
beliau terima di
atas langit yang
ketujuh langsung
dari Hadirat Allah
sendiri.
Al-Manquulu bi-ttawaatir
Al-Qur’an ditulis dalam
mushaf-mushaf dan
disampaikan kepada kita
secara mutawatir
(diriwayatkan oleh banyak
orang), sehingga terpelihara
keasliannya. Berikut sekilas
sejarah pemeliharaan Al-
Qur’an sejak masa Nabi
hingga pembukuannya
seperti sekarang:
Pada masa Nabi Al-Qur’an
dihafal dan ditulis di atas
batu, kulit binatang, pelapah
tamar dan apa saja yang bisa
dipakai untuk ditulis.
Kemudian setahun sekali Jibril
melakukan repetisi (ulangan),
yakni dengan menyuruh
Nabi memperdengarkan Al-
Qur’an yang telah
diterimanya. Menurut
riwayat, di tahun beliau
wafat, ulangan diadakan oleh
Jibril dua kali.
Ketika Nabi wafat, Al-Qur’an
telah dihafal oleh ribuan
manusia dan telah ditulis
semua ayat-ayatnya dengan
susunan menurut tertib urut
yang ditunjukkan oleh Nabi
sendiri.
Berdasarkan usulan Umar
bin Khattab, pada masa
pemerintahan Abu Bakar
diadakan proyek
pengumpulan Al-Qur’an. Hal
ini dilatar belakangi oleh
peristiwa gugurnya 70 orang
penghafal Al-Qur’an dalam
perang Yamamah. Maka
ditugaskanlah Zaid bin Tsabit
untuk melakukan pekerjaan
tersebut. Ia kemudian
mengumpulkan tulisan Al-
Qur’an dari daun, pelapah
kurma, batu, tanah keras,
tulang unta atau kambing
dan dari sahabat-sahabat
yang hafal Al-Qur’an.
Dalam upaya pengumpulan
Al-Qur’an ini, Zaid bin Tsabit
bekerja sangat teliti.
Sekalipun beliau hafal Al-
Qur’an seluruhnya, tetapi
masih memandang perlu
mencocokkan hafalannya
dengan hafalan atau catatan
sahabat-sahabat yang lain
dengan disaksikan dua orang
saksi. Selanjutnya, Al-Qur’an
ditulis oleh Zaid bin Tsabit
dalam lembaran-lembaran
yang diikatnya dengan
benang, tersusun menurut
urutan ayat-ayatnya
sebagaimana yang telah
ditetapkan Rasulullah saw.
Pada masa Utsman terjadi
ikhtilaf tentang mushaf Al-
Qur’an, yakni berkaitan
dengan ejaan, qiraat dan
tertib susunan surat-surat.
Oleh karena itu atas usulan
Huzaifah bin Yaman, Utsman
segera membentuk panitia
khusus yang dipimpin Zaid
bin Tsabit beranggotakan
Abdullah bin Zubair, Saad bin
Ash dan Abdurrahman bin
Harits bin Hisyam untuk
melakukan penyeragaman
dengan merujuk kepada
lembaran-lembaran Al-
Qur’an yang ditulis pada
masa khalifah Abu Bakar
yang disimpan oleh Hafsah,
isteri Nabi saw.
Al-Qur’an yang dibukukan
oleh panitia ini kemudian
dinamai “Al-Mushaf” dan
dibuat lima rangkap. Satu
buah disimpan di Madinah—
dinamai “Mushaf Al-Imam”—
dan sisanya dikirim ke
Mekkah, Syiria, Basrah dan
Kufah. Sementara itu
lembaran-lembaran Al-
Qur’an yang ditulis sebelum
proyek ini segera
dimusnahkan guna
menyatukan kaum muslimin
pada satu mushaf, satu
bacaan[6], dan satu tertib
susunan surat-surat.
Al-Muta’abbadu
bitilawatih
Membaca Al-Qur’an itu
bernilai ibadah. Banyak sekali
hadits yang mengungkapkan
bahwa membaca Al-Qur’an
adalah merupakan bentuk
ibadah kepada Allah yang
memiliki banyak keutamaan,
diantaranya adalah:
“Bacalah Al-Qur’an, karena
sesungguhnya Allah akan
memberi pahala kepadamu
karena bacaan itu untuk
setiap hurufnya 10 kebajikan.
Saya tidak mengatakan
kepada kalian bahwa ‘Alif-
Laam-Mim’ itu satu huruf,
tetapi ‘alif’ satu huruf, ‘Laam’
satu huruf dan ‘Miim’ satu
huruf” (HR. Hakim).
“Bacalah Al-Qur’an, karena
sesungguhnya ia akan
menjadi cahaya bagimu di
bumi dan menjadi simpanan
(deposito amal) di
langit.” (HR. Ibnu Hibban).
“Orang yang mahir dalam
membaca Al-Qur’an
bersama para malaikat yang
mulia lagi taat. Dan
barangsiapa membaca Al-
Qur’an, sementara ada
kesulitan (dalam
membacanya), maka
baginya dua pahala. “ (HR.
Bukhari & Muslim)
***
[1] Abul Walid adalah
seorang sastrawan Arab
yang jarang bandingannya.
Suatu saat ia diperintahkan
para pemimpin Quraisy
untuk menghadap Nabi
Muhammad saw dengan
maksud membujuk beliau
supaya meninggalkan
dakwah Islam dengan janji
bahwa beliau akan diberi
pangkat, harta dan
sebagainya. Abul Walid
menyampaikan bujukannya
ini dan membacakan syair-
syair. Tapi kemudian Nabi
Muhammad saw
membacakan surat Fushilat
dari awal sampai akhir. Abul
Walid pun tertarik dan
terpesona mendengarkan
ayat itu sehingga ia
termenung memikirkan
keindahan gaya bahasanya.
Ia kemudian datang kepada
para pemimpin Quraisy dan
mengatakan kata-kata di atas.
[2] Pokok-pokok Ajaran
Islam, DR. Miftah Faridl,
Pustaka Bandung hal. 9.
[3] Di antara ayat-ayat
tersebut umpamanya QS.
39: 6, 6: 125, 23: 12-14, 51: 49,
41: 11: 41, 21: 30-33, 51:7, 49
dan lain-lain
[4] Menurut para ulama
hadits qudsi ialah: “Sesuatu
yang diberitakan Allah
kepada Nabi saw dengan
perantaraan Jibril, atau
dengan jalan ilham atau
mimpi waktu tidur, lalu oleh
beliau disampaikan kepada
ummat dengan lafadz dan
ucapan beliau sendiri,
berdasarkan taufiq dari Allah
ta’ala. Apabila Rasulullah saw
meriwayatkan hadits qudsi,
biasanya mengucapkan
“Qaala-Llahu ta’aala” (Allah
berfirman…), tapi firman itu
tidak dimasukkan dalam Al-
Qur’an. Begitu juga uslub-
nya (susunan kata) tidak
sama dengan uslub ayat-
ayat Al-Qur’an.
[5] Lihat Kelengkapan Tarikh
Muhammad (Gema Insani
Press) hal. 142-143.
[6] Bacaan (qiraat) yang
dikenal oleh masyarakat
muslim saat ini bermacam-
macam, tetapi bacaan yang
berbeda-beda itu tidak
berlawanan dengan ejaan
mushaf-mushaf Utsman.

Minggu, November 21, 2010

Seorang anak, meskipun telah
berkeluarga, tetap wajib berbakti
kepada kedua orang tuanya.
Kewajiban ini tidaklah gugur bila
seseorang telah berkeluarga. Namun
sangat disayangkan, betapa banyak
orang yang sudah berkeluarga lalu
mereka meninggalkan kewajiban ini.
Mengingat pentingnya masalah
berbakti kepada kedua orang tua,
maka masalah ini perlu dikaji secara
khusus.
Jalan yang haq dalam menggapai
ridha Allah ‘Azza wa Jalla melalui orang
tua adalah birrul walidain. Birrul
walidain (berbakti kepada kedua
orang tua) merupakan salah satu
masalah penting dalam Islam. Di dalam
Al-Qur ’an, setelah memerintahkan
manusia untuk bertauhid, Allah ‘Azza
wa Jalla memerintahkan untuk
berbakti kepada orang tuanya.
Seperti tersurat dalam surat al-Israa'
ayat 23-24, Allah Ta ’ala berfirman:
“Artinya : Dan Rabb-mu telah
memerintahkan agar kamu jangan
beribadah melainkan hanya kepada-
Nya dan hendaklah berbuat baik
kepada ibu-bapak. Jika salah seorang
di antara keduanya atau kedua-
duanya sampai berusia lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali
janganlah engkau mengatakan
kepada keduanya perkataan “ah” dan
janganlah engkau membentak
keduanya, dan ucapkanlah kepada
keduanya perkataan yang baik. Dan
rendahkanlah dirimu terhadap
keduanya dengan penuh kasih
sayang dan ucapkanlah, ‘Ya Rabb-ku,
sayangilah keduanya sebagaimana
mereka berdua telah mendidik aku
pada waktu kecil. ’” [Al-Israa' : 23-24]
Perintah birrul walidain juga
tercantum dalam surat an-Nisaa' ayat
36:
“Artinya : Dan beribadahlah kepada
Allah dan janganlah kamu
mempersekutukan-Nya dengan
sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah
kepada kedua orang tua, karib
kerabat, anak-anak yatim, orang-
orang miskin, tetangga dekat,
tetangga jauh, teman sejawat, ibnu
sabil [1], dan hamba sahaya yang
kamu miliki. Sungguh, Allah tidak
menyukai orang-orang yang
sombong dan membanggakan
diri. ” [An-Nisaa' : 36]
Dalam surat al-‘Ankabuut ayat 8,
tercantum larangan mematuhi orang
tua yang kafir jika mereka mengajak
kepada kekafiran:
“Artinya : Dan Kami wajibkan kepada
manusia agar (berbuat) kebaikan
kepada kedua orang tuanya. Dan jika
keduanya memaksamu untuk
mempersekutukan Aku dengan
sesuatu yang engkau tidak
mempunyai ilmu tentang itu, maka
janganlah engkau patuhi keduanya.
Hanya kepada-Ku tempat kembalimu,
dan akan Aku beritakan kepadamu
apa yang telah kamu
kerjakan. ” [Al-‘Ankabuut (29): 8] Lihat
juga surat Luqman ayat 14-15.
ANJURAN BERBUAT BAIK KEPADA
KEDUA ORANG TUA DAN LARANGAN
DURHAKA KEPADA KEDUANYA.
Yang dimaksud ihsan dalam
pembahasan ini adalah berbakti
kepada kedua orang tua, yaitu
menyampaikan setiap kebaikan
kepada keduanya semampu kita dan
bila memungkinkan mencegah
gangguan kepada keduanya. Menurut
Ibnu ‘Athiyah, kita juga wajib
mentaati keduanya dalam hal-hal
yang mubah (yang diperbolehkan
syari ’at), dan harus mengikuti apa-
apa yang diperintahkan keduanya
dan menjauhi apa-apa yang dilarang
(selama tidak melanggar batasan-
batasan Allah ‘Azza wa Jalla).
Sedangkan 'uququl walidain adalah
gangguan yang ditimbulkan seorang
anak terhadap keduanya, baik berupa
perkataan maupun perbuatan.
Contoh gangguan berupa perkataan,
yaitu mengucapkan “ah” atau “cis”,
berkata dengan kalimat yang keras
atau menyakitkan hati, menggertak,
mencaci maki dan lain-lain. Sedangkan
yang berupa perbuatan adalah
berlaku kasar, seperti memukul
dengan tangan atau kaki bila orang
tua menginginkan sesuatu atau
menyuruh untuk memenuhi
keinginannya, membenci, tidak
mempedulikan, tidak bersilaturrahim,
atau tidak memberi nafkah kepada
kedua orang tuanya yang miskin.
KEUTAMAAN BERBAKTI KEPADA KEDUA
ORANG TUA DAN PAHALANYA.
[1]. Merupakan Amal Yang Paling
Utama
‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu
‘anhu berkata.
“Artinya : Aku bertanya kepada Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ‘Amal
apakah yang paling utama?’ Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam
menjawab, ‘Shalat pada waktunya
(dalam riwayat lain disebutkan shalat
di awal waktunya). ’ Aku bertanya lagi,
‘Kemudian apa?’ Nabi menjawab:
‘Berbakti kepada kedua orang tua.’
Aku bertanya lagi: ‘Kemudian apa?’
Nabi menjawab, ‘Jihad di jalan Allah’ [2]
[2]. Ridha Allah Bergantung Kepada
Ridha Orang Tua
Sesuai hadits Rasulullah shallallaahu
‘ alaihi wa sallam, disebutkan:
“Artinya : Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin
‘Ash radhiyallaahu ‘anhuma, bahwa
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Ridha Allah bergantung
kepada keridhaan orang tua dan
murka Allah bergantung kepada
kemurkaan orang tua ” [3]
[3]. Berbakti Kepada Orang Tua Dapat
Menghilangkan Kesulitan Yang
Sedang Dialami
Yaitu, dengan cara bertawassul
dengan amal shalih tersebut. Dalilnya
adalah hadits riwayat dari Ibnu ‘Umar
radhiyallaahu ‘anhuma mengenai
kisah tiga orang yang terjebak dalam
gua, dan salah seorangnya
bertawassul dengan bakti kepada ibu
bapaknya.
Haditsnya sebagai berikut:
“Artinya : ...Pada suatu hari tiga orang
dari ummat sebelum kalian sedang
berjalan, lalu kehujanan. Mereka
berteduh pada sebuah gua di kaki
sebuah gunung. Ketika mereka
berada di dalamnya, tiba-tiba sebuah
batu besar runtuh dan menutupi
mulut gua. Sebagian mereka berkata
kepada yang lain: ‘Ingatlah amal
terbaik yang pernah kamu lakukan.’
Kemudian mereka memohon kepada
Allah dan bertawassul melalui amal
tersebut, dengan harapan agar Allah
menghilangkan kesulitan tersebut.
Salah satu di antara mereka berkata:
‘ Ya Allah, sesung-guhnya aku
mempunyai kedua orang tua yang
sudah lanjut usia sedangkan aku
mempunyai isteri dan anak-anak yang
masih kecil. Aku menggembala
kambing, ketika pulang ke rumah aku
selalu memerah susu dan memberikan
kepada kedua orang tuaku sebelum
orang lain. Suatu hari aku harus
berjalan jauh untuk mencari kayu
bakar dan mencari nafkah sehingga
pulang sudah larut malam dan aku
dapati orang tuaku sudah tertidur,
lalu aku tetap memerah susu
sebagaimana sebelumnya. Susu
tersebut tetap aku pegang lalu aku
mendatangi keduanya namun
keduanya masih tertidur pulas. Anak-
anakku merengek-rengek menangis
untuk meminta susu ini dan aku tidak
memberikannya. Aku tidak akan
memberikan kepada siapa pun
sebelum susu yang aku perah ini
kuberikan kepada kedua orang tuaku.
Kemudian aku tunggu sampai
keduanya bangun. Pagi hari ketika
orang tuaku bangun, aku berikan
susu ini kepada keduanya. Setelah
keduanya minum lalu kuberikan
kepada anak-anakku. Ya Allah,
seandainya perbuatan ini adalah
perbuatan yang baik karena
mengharap wajah-Mu, maka
bukakanlah mulut gua ini. ’ Maka batu
yang menutupi pintu gua itu pun
bergeser sedikit.. ”[4]
[4]. Akan Diluaskan Rizki Dan
Dipanjangkan Umur
Sesuai sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam
“Artinya : Barangsiapa yang ingin
diluaskan rizkinya dan di-panjangkan
umurnya, maka hendaklah ia
menyam-bung silaturrahimnya. ” [5]
Dalam silaturahmi, yang harus
didahulukan adalah silaturahmi
kepada orang tua sebelum kepada
yang lain. Banyak di antara saudara-
saudara kita yang sering berkunjung
kepada teman-temannya, tetapi
kepada orang tuanya sendiri jarang,
bahkan tidak pernah. Padahal ketika
masih kecil, dia selalu bersama orang
tuanya. Sesulit apa pun harus tetap
diusahakan untuk bersilaturahmi
kepada kedua orang tua, karena
dekat kepada keduanya -insya Allah-
akan dimudahkan rizki dan
dipanjangkan umurnya.
[5]. Akan Dimasukkan Ke Surga Ooleh
Allah ‘Azza wa Jalla
Berbuat baik kepada orang tua dan
taat kepada keduanya dalam kebaikan
merupakan jalan menuju Surga.
Sedangkan durhaka kepada orang
tua akan mengakibatkan seorang
anak tidak masuk Surga. Dan di antara
dosa-dosa yang Allah ‘Azza wa Jalla
segerakan adzabnya di dunia adalah
berbuat zhalim dan durhaka kepada
orang tua. Dengan demikian, jika
seorang anak berbuat baik kepada
orang tuanya, Allah akan meng-
hindarkannya dari berbagai
malapetaka, dengan izin Allah ‘Azza
wa Jalla dan akan dimasukkan ke
Surga.
BENTUK-BENTUK DURHAKA KEPADA
KEDUA ORANG TUA
[1]. Menimbulkan gangguan terhadap
orang tua, baik berupa perkataan
atau pun perbuatan yang mem-buat
orang tua sedih atau sakit hati.
[2]. Berkata “ah” atau “cis” dan tidak
memenuhi pang-gilan orang tua.
[3]. Membentak atau menghardik
orang tua.
[4]. Bakhil atau kikir, tidak mengurus
orang tuanya, bahkan lebih
mementingkan yang lain daripada
mengurus orang tuanya, padahal
orang tuanya sangat membutuhkan.
Seandainya memberi nafkah pun,
dilakukan dengan penuh
perhitungan.
[5]. Bermuka masam dan cemberut di
hadapan orang tua, merendahkan
orang tua, mengatakan bodoh,
“ kolot”, dan lain-lain.
[6]. Menyuruh orang tua, misalnya
menyapu, mencuci atau menyiapkan
makanan. Pekerjaan tersebut sangat
tidak pantas bagi orang tua, terutama
jika mereka sudah tua dan lemah.
Tetapi, jika si ibu melakukan pekerjaan
tersebut dengan kemauannya
sendiri, maka tidaklah mengapa, dan
karena itu seorang anak harus
berterima kasih dan membantu orang
tua.
[7]. Menyebut kejelekan orang tua di
hadapan orang banyak atau
mencemarkan nama baik orang tua.
[8]. Memasukkan kemungkaran ke
dalam rumah, misalnya alat musik,
mengisap rokok, dan lain-lain.
[9]. Lebih mentaati isteri daripada
kedua orang tua. Bahkan ada
sebagian orang yang tega mengusir
ibunya demi menuruti kemauan
isterinya.
Nas-alullaahas salaamah wal ‘aafiyah
[10]. Malu mengakui orang tuanya.
Sebagian orang merasa malu dengan
keberadaan orang tua dan tempat
tinggal ketika status sosialnya
meningkat. Tidak diragukan lagi, sikap
semacam itu adalah sikap yang
sangat tercela, bahkan termasuk
kedurhakaan yang keji dan nista.
BENTUK-BENTUK BERBAKTI KEPADA
KEDUA ORANG TUA.
[1]. Bergaul bersama keduanya
dengan cara yang baik. Di dalam
hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam disebutkan bahwa memberi
kegembiraan kepada seseorang
mukmin termasuk shadaqah, lebih
utama lagi kalau memberi
kegembiraan kepada orang tua kita
[2]. Berkata kepada keduanya dengan
perkataan yang lemah lembut.
Hendaknya dibedakan adab ber-
bicara antara kepada kedua orang tua
dengan ke-pada anak, teman atau
dengan yang lain. Berbicara dengan
perkataan yang mulia kepada kedua
orang tua.
[3]. Tawadhu’ (rendah hati). Tidak
boleh kibr (sombong) apabila sudah
meraih sukses atau memenuhi
jabatan di dunia, karena sewaktu lahir,
kita berada dalam keadaan hina dan
membutuhkan pertolongan, kita
diberi makan, minum, dan pakaian
oleh orang tua.
[4]. Memberi infaq (shadaqah) kepada
kedua orang tua, karena pada
hakikatnya semua harta kita adalah
milik orang tua. Oleh karena itu
berikanlah harta itu kepada kedua
orang tua, baik ketika mereka minta
ataupun tidak.
[5 ]. Mendo’akan kedua orang tua. Di
antaranya dengan do’a berikut:
“Wahai Rabb-ku, kasihilah keduanya,
sebagaimana mereka berdua telah
mendidikku sewaktu kecil. ”
Seandainya orang tua masih berbuat
syirik serta bid ’ah, kita tetap harus
berlaku lemah lembut kepada
keduanya, dengan harapan agar
keduanya kembali kepada Tauhid dan
Sunnah. Bagaimana pun, syirik dan
bid ’ah adalah sebesar-besar
kemungkaran, maka kita harus
mencegahnya semampu kita dengan
dasar ilmu, lemah lembut dan
kesabaran. Sambil terus berdo ’a siang
dan malam agar orang tua kita diberi
petunjuk ke jalan yang benar.
APABILA KEDUA ORANG TUA TELAH
MENINGGAL DUNIA.
Maka yang harus kita lakukan adalah:
[1]. Meminta ampun kepada Allah ‘Azza
wa Jalla dengan taubat nashuha
(jujur) bila kita pernah berbuat dur-
haka kepada keduanya di waktu
mereka masih hidup.
[2]. Menshalatkannya dan
mengantarkan jenazahnya ke kubur.
[3]. Selalu memintakan ampunan
untuk keduanya.
[4]. Membayarkan hutang-hutangnya.
[5]. Melaksanakan wasiat sesuai
dengan syari ’at.
[6]. Menyambung silaturrahim kepada
orang yang keduanya juga pernah
menyambungnya.
Semoga dengan memahami dan
mengamalkan nilai-nilai Islam
tersebut, kita dimudahkan oleh Allah
‘ Azza wa Jalla dalam mewujudkan
keluarga yang sakinah, mawaddah wa
rahmah. Aamiin.
[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa
Menuju Keluarga Sakinah, Penulis
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit
Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat,
Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember
2006]
__________
Foote Note
[1]. Ibnu sabil ialah orang yang dalam
perjalanan yang bukan maksiat yang
kehabisan bekal. Termasuk juga anak
yang tidak diketahui ibu-bapaknya.
[2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh
al-Bukhari (no. 527), Muslim dalam
Kitabul Iman (no. 85), an-Nasa-i
(I/292-293), at-Tirmidzi (no. 173), ad-
Darimi (I/278), Ahmad (I/351, 409, 410,
439).
[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh
al-Bukhari dalam Adabul Mufrad (no.
2), Ibnu Hibban (no. 2026 al-Mawaarid),
at-Tirmidzi (no. 1899), al-Hakim
(IV/151-152), ia menshahihkan atas
syarat Muslim dan adz-Dzahabi
menyetujuinya. Syaikh al-Albani
rahimahullaah mengatakan hadits ini
sebagaimana yang dikatakan oleh
mereka berdua (al-Hakim dan adz-
Dzahabi). Lihat Shahiih Adabul Mufrad
(no. 2).
[4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh
al-Bukhari (no. 2272), Fathul Baari
(IV/449), Muslim (no. 2743), dari
Shahabat ‘Abdullah bin ‘Umar
radhiyallaahu ‘anhuma.
[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh
al-Bukhari (no. 5985, 5986), Muslim (no.
2557), Abu Dawud (no. 1693), dari
Shahabat Anas bin Malik radhiyallaahu
‘ anhu.

Perjalan

Dalam sebuah perjalan kehidupan seseorang ada hal yang tak lepas dari semua kepastian hidupnya,mengeluh dan terus mengeluh..ketika sesuatu yang di harapkan tak sesuai dengan keinginan hatinya..itulah manusia tatkala di hadapkan dengan sebuah kenyataan bahwa dirinya tak bisa lagi menggapai apa yang di harapkan keluh kesah,gundah gulana,karena apa apa yang di usahakannya tak sesuai dengan keinginannya...Meratap terkadang putus asa,tak ada jalan lain ketika pikirannya telah di kuasai oleh obsesi bahwa dia harus selalu sukses dan berhasil dalam menggapai semua keinginannya,hanya keputus asaan,dan keraguan dalam setiap langkah yang ia jalani..