Rabu, Desember 15, 2010

Ahlul-Bait

Ahlul-Bait (Bahasa Arab: أهل
البيت) adalah istilah yang berarti
"Orang Rumah" atau keluarga.
Dalam tradisi Islam istilah itu
mengarah kepada keluarga
Muhammad. Terjadi perbedaan
dalam penafsiran baik Muslim Syi'ah
maupun Sunni. Syi'ah berpendapat
bahwa Ahlul Bait mencakup lima
orang yaitu Ali, Fatimah, Hasan dan
Husain sebagai anggota Ahlul Bait (di
samping Muhammad). Sementara
Sunni berpendapat bahwa Ahlul Bait
adalah keluarga Muhammad dalam
arti luas, meliputi istri-istri dan cucu-
cucunya, hingga kadang-kadang
ada yang memasukkan mertua-
mertua dan menantu-menantunya.
Istilah Ahlul Bait
Syi'ah
Kaum Syi’ah lebih mengkhususkan
istilah Ahlul Bait Muhammad yang
hanya mencakup Ali dan istrinya
Fatimah, putri Muhammad beserta
putra-putra mereka yaitu al-Hasan
dan al-Husain (4 orang ini bersama
Muhammad juga disebut Ahlul Kisa
atau yang berada dalam satu
selimut) dan keturunan mereka.
Hal ini diperkuat pula dengan hadits-
hadits seperti contoh berikut:
“ Aisyah
menyatakan
bahwa pada
suatu pagi,
Rasulullah
keluar dengan
mengenakan
kain bulu hitam
yang berhias.
Lalu, datanglah
Hasan bin Ali,
maka Rasulullah
menyuruhnya
masuk.
Kemudian
datang pula
Husain lalu
beliau masuk
bersamanya.
Datang juga
Fathimah,
kemudian
beliau
menyuruhnya
masuk.
Kemudian
datang pula Ali,
maka beliau
menyuruhnya
masuk, lalu
beliau
membaca ayat
33 surah al-
Ahzab,
"Sesungguhnya
Allah
bermaksud
hendak
menghilangkan
dosa dari
kamu, hai
Ahlul Bait dan
membersihkan
kamu sebersih-
bersihnya."[1] ”
Sunni dan Salafi
Makna “Ahl” dan “Ahlul Bait” dalam
pengertian leksikal berarti penghuni
rumah, termasuk isteri dan anak-
anak. Pengertian ini dianut sebagian
kalangan Sunni dan Salafi, yang
menyatakan bahwa ahlul bait
Muhammad mencakup pula istri-
istri, mertua-mertua, juga menantu-
menantu dan cucu-cucunya.
Sufi dan sebagian Sunni
Kalangan Sufi dan sebagian kaum
Sunni menyatakan bahwa Ahlul-Bait
adalah anggota keluarga
Muhammad yang dalam hadits
disebutkan haram menerima zakat,
seperti keluarga Ali dan Fatimah
beserta putra-putra mereka (Hasan
dan Husain) serta keturunan
mereka. Juga keluarga Abbas bin
Abdul-Muththalib, serta keluarga-
keluarga Ja’far dan Aqil yang
bersama Ali merupakan putra-putra
Abu Thalib.
Adapun risalah lengkap
sebagaimana yang tercantum dalam
Shahih Muslim adalah sebagai
berikut:
Yazid bin Hayyan berkata, "Aku
pergi ke Zaid bin Arqam
bersama Husain bin Sabrah dan
Umar bin Muslim. Setelah kami
duduk, Husain berkata kepada
Zaid bin Arqam, 'Hai Zaid, kau
telah memperoleh kebaikan yang
banyak. Kau melihat Rasulullah,
kau mendengar sabda beliau,
kau bertempur menyertai beliau,
dan kau telah salat dengan
diimami oleh beliau. Sungguh
kau telah memperoleh kebaikan
yang banyak. Karena itu,
sampaikan kepada kami hai Zaid,
apa yang kau dengar dari
Rasulullah!'"
"Kata Zaid bin Arqam, 'Hai
kemenakanku, demi Allah, aku ini
sudah tua dan ajalku sudah
semakin dekat. Aku sudah lupa
sebagian dari apa yang aku
dengar dari Rasulullah. Apa yang
bisa aku sampaikan kepadamu
terimalah dan apa yang tidak bisa
aku sampaikan kepadamu
janganlah kamu memaksaku
untuk menyampaikannya.'"
"Kemudian Zaid bin Arqam
mengatakan, 'Pada suatu hari
Rasulullah berdiri dengan
berpidato di suatu tempat air
yang disebut Khumm antara
Mekkah dan Madinah. Ia memuji
Allah, kemudian menyampaikan
nasihat dan peringatan, lalu
beliau bersabda, Ketahuilah
saudara-saudara bahwa aku
adalah manusia seperti kalian.
Sebentar lagi utusan Tuhanku
(malaikat pencabut nyawa) akan
datang lalu dia diperkenankan.
Aku akan meninggalkan untuk
kalian dua hal yang berat, yaitu:
1) Al-Qur'an yang berisi petunjuk
dan cahaya, karena itu
laksanakanlah isi Al-Qur'an dan
pegangilah. (Beliau mendorong
dan mengimbau pengamalan Al-
Qur'an). 2) Keluargaku. Aku
ingatkan kalian agar berpedoman
dengan hukum Allah dalam
memperlakukan keluargaku (tiga
kali)".
Husain bertanya kepada Zaid bin
Arqam, "Hai Zaid, siapa Ahlul Bait
(keluarga) Rasulullah itu?
Bukankah istri-istri beliau Ahlul
Baitnya?"
Kata Zaid bin Arqam, "Istri-
istri beliau adalah Ahlul
Baitnya, tetapi Ahlul Bait
beliau adalah orang yang
diharamkan menerima zakat
sampai sepeninggal beliau."
Kata Husain, "Siapa mereka itu?"
Kata Zaid bin Arqam,
"Mereka adalah keluarga Ali,
keluarga Aqil, keluarga Ja'far
dan keluarga Abbas."
Kata Husain, "Apakah mereka
semua diharamkan menerima
zakat?"
Jawab Zaid, "Ya."[2]
Istilah Ahlul Kisa
Kaum Sufi yang memiliki keterikatan
dengan Ahlul Kisa, yaitu keluarga Ali
bin Abu Talib k.w.[3] dan Fatimah
az-Zahra baik secara zhahir (faktor
keturunan) dan secara bathin (do'a
dan amalan) sangat mendukung
keutamaan Ahlul Kisa. Tetapi, Sufi
berpendapat bahwa Ahlul Bait bukan
hanya Ahlul Kisa sesuai dengan
hadits tsaqalayn. Sufi berpendapat
bahwa Ahlul Bait adalah mereka
yang haram menerima zakat, yaitu
keluarga Ali, Aqil dan Ja'far (yang
merupakan putra-putra Abu Thalib)
dan keluarga Abbas (Hadits Shahih
Muslim dari Zaid bin Arqam).
Dengan demikian kaum Sufi dalam
hal kekhalifahan memiliki perbedaan
tajam dengan kaum Syi'ah.
Hadist Shahīh Ahlul Kisa
Shahīh Muslim, vol. 7, hal. 130
Aisyah berkata, "Pada suatu pagi,
Rasulullah saw keluar rumah
menggunakan jubah (kisa) yang
terbuat dari bulu domba. Hasan
datang dan kemudian Rasulullah
menempatkannya di bawah kisa
tersebut. Kemudian Husain
datang dan masuk ke dalamnya.
Kemudian Fatimah ditempatkan
oleh Rasulullah di sana.
Kemudian Ali datang dan
Rasulullah mengajaknya di
bawah kisa dan berkata,
"Sesungguhnya Allah
bermaksud hendak
menghilangkan dosa dari kamu
wahai Ahlul Bait dan
membersihkan kamu sebersih-
bersihnya." (QS. Al-Ahzab
[33]:33)[4]
Sunan at-Turmudzi, Kitab al-
Manâqib
Ummu Salamah mengutip
bahwa Rasulullah saw menutupi
Hasan, Husain, Ali dan Fatimah
dengan kisa-nya, dan
menyatakan, "Wahai Allah!
Mereka Ahlul Baitku dan yang
terpilih. Hilangkan dosa dari
mereka dan sucikanlah mereka!"
Ummu Salamah berkata, "Aku
bertanya pada Rasulullah saw,
Wahai Rasul Allah! Apakah aku
termasuk di dalamnya?" Beliau
menjawab, "Engkau berada
dalam kebaikan (tetapi tidak
termasuk golongan mereka)."
Imam Turmudzi menulis di bawah
hadits ini, "Hadits ini shahīh dan
bersanad baik, serta merupakan
hadits terbaik yang pernah dikutip
mengenai hal ini."[5]
Interpretasi Syi'ah, Sunni
dan Sufi
Syi'ah
Kaum Syi'ah, khususnya Mazhab
Dua Belas Imam menafsirkan
bahwa Ahlul Bait adalah "anggota
rumah tangga" Muhammad dan
mempercayai bahwa mereka terdiri
dari: Muhammad, Ali bin Abi Thalib,
Fatimah az-Zahra, Hasan bin Ali, dan
Husain bin Ali.
Kaum Syi'ah percaya bahwa yang
dimaksud dengan Ahlul Bait yang
disucikan sesuai dengan ayat tathîr
(penyucian) (QS. Al-Ahzab [33]:33),
adalah mereka yang termasuk
dalam Ahlul-Kisa yaitu Muhammad,
Ali, Fatimah, Hasan dan Husain serta
9 imam berikutnya yang
merupakan keturunan dari Husain.
Sesuai dengan hadits di atas, Syi'ah
berpendapat bahwa istri-istri
Muhammad tidak termasuk dalam
Ahlul Bait, sebagaimana pendapat
Sunni yang memasukkan istri-istri
Muhammad.
Sunni dan Salafi
Kaum Sunni juga mempercayai
hadits sahih mengenai keistimewaan
kedudukan Ahlul Bait tersebut
seperti kaum Syi'ah, meskipun
kaum Sunni tidak berpendapat
bahwa hak kepemimpinan umat
(khalifah) harus dipegang oleh
keturunan Ahlul Bait. Hadits itu juga
menyatakan bahwa kedua cucu
Muhammad, yaitu Hasan bin Ali dan
Husain bin Ali, adalah sayyid
(pemuka).
Muhammad bin Abdul Wahhab
menolak pengistimewaan yang
berlebihan terhadap keturunan Ahlul
Bait. Ini kemungkinan disebabkan
karena pertentangan mereka
terhadap kaum Syi'ah, meskipun
kaum Sunni pada umumnya tetap
memandang hormat terhadap para
keturunan Ahlul Bait.
Kaum Wahhabi berpendapat bahwa
istilah Ahlul Bait memang hanya
mencakup keluarga Ali, akan tetapi
keluarga Muhammad mencakup
seluruh umat Muslim yang taat,
sebab hubungan kekeluargaan
tersebut adalah berdasarkan takwa
pada kepercayaan Islam, dan bukan
berdasarkan pada darah keturunan.
Kaum Wahhabi percaya bahwa
setiap orang yang taat adalah bagian
dari Ahlul Bait, dan bahwa beberapa
orang secara khusus disebutkan
sebagai bagian daripadanya.
Beberapa orang ini, adalah istri-istri
Muhammad, yang menurut
pendapat mereka disebutkan di
dalam Al Qur'an sebagai bagian dari
Ahlul Bait.
Sufi
Kaum Sufi menyepakati bahwa
semua pendiri Tariqah Mu'tabaroh
mestilah dari golongan Ahlul Bait,
yaitu berasal dari keturunan Hasan
bin Ali atau Husain bin Ali.
Para masyaikh pendiri tariqah-
tariqah Islam setelah wafatnya
Rasulullah yang merupakan
golongan Ahlul Bait, misalnya:
As-Sayyid As-Syaikh
Bahau'uddin Naqsyabandi
(Tariqah Naqsyabandi)
As-Sayyid Al-Faqih
Muqaddam Muhammad bin
'Ali BaAlawi Al-Husaini
(Tariqah Al-BaAlawi)
As-Sayyid As-Syaikh Abdul
Qadir Jilani Al-Hasani
(Tariqah Qadiriyah)
As-Sayyid As-Syaikh
Ahmad bin Idris Al-Hasani
(Tariqah Ahmadiyah
Idrissiyah)
As-Sayyid As-Syaikh Abil
Hasan Asy-Syazuli (Tariqah
Syadziliyyah)
Silsilah ajaran mereka
kebanyakannya melalui Imam Ja'far
ash-Shadiq, dan semuanya
mendapat sanad dari Ali bin Abi
Thalib. Tariqah Naqsyabandiah
adalah satu-satunya tariqah yang
juga mendapat sanad dari Abu
Bakar.
Kekhalifahan
Kaum Sufi berpendapat kekhalifahan
ada 2 macam, yaitu :
Khalifah secara zhahir
(Waliyyul Amri, Surat An
Nisaa' ayat 59) "Hai orang-
orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri
(pemimpin) di antara kamu.
Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian.
Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih
baik akibatnya." atau mereka
yang menjadi kepala
pemerintahan umat Islam;
dan
Khalifah secara bathin
(Waliyyul Mursyid, Surat Al
Kahfi ayat 17) "Dan kamu
akan melihat matahari ketika
terbit, condong dari gua
mereka ke sebelah kanan,
dan bila matahari terbenam
menjauhi mereka ke sebelah
kiri sedang mereka berada
dalam tempat yang luas
dalam gua itu. Itu adalah
sebagian dari tanda-tanda
(kebesaran) Allah.
Barangsiapa yang diberi
petunjuk oleh Allah, maka
dialah yang mendapat
petunjuk; dan barangsiapa
yang disesatkan-Nya, maka
kamu tidak akan
mendapatkan seorang
pemimpinpun yang dapat
memberi petunjuk
(Waliyyan Mursyida)
kepadanya." atau mereka
yang menjadi pembina
rohani umat Islam.
Khalifah zhahir
Menurut kalangan Sufi kekhalifahan
yang zhahir (lahiriah) boleh saja
dipegang oleh orang muslim yang
kurang beriman atau mukmin tapi
kurang bertakwa, dalam keadaan
darurat atau karena sudah takdir
yang tak bisa dihindari. Hal ini
dibuktikan dengan tidak adanya
perkataan ‘athii’ sebelum ‘waliyyul
amri’, kata ‘athii’ atau taatlah hanya
ditempelkan kepada ‘Allah’ kemudian
ditempelkan kepada ‘Rasul’ sehingga
lafadz lengkapnya menjadi,
” Athiiullahu wa athiiurasuul wa ulil
amri minkum”. Berarti taat yang
mutlak hanya kepada Allah dan
Rasulnya. Taat kepada ulil amri
(pemimpin) dapat dilakukan dengan
syarat ia taat lebih dulu kepada Allah
dan Rasulnya. Memilih seorang
pemimpin atas dasar ketaatan
kepada Allah adalah hal yang logis
dan jauh lebih mudah dari pada
memilih seorang pemimpin atas
dasar 'maksum' atau kesucian,
karena 'taat' kepada Allah adalah
suatu yang dapat terlihat kurang-
lebihnya di dalam kehidupan
seseorang.
Dengan kata lain ayat ini dalam
pandangan kaum Sunni dan kaum
Sufi menunjukkan tidak adanya
syarat ‘maksum’ bagi Waliyyul Amri
(pemimpin pemerintahan). Sangat
mungkin ini adalah petunjuk Allah
bagi umat Islam untuk menerima
siapapun pemimpinnya di setiap
zaman, selama ia taat kepada Allah
dan Rasulnya, karena sesuai dengan
akal sehat yang dimiliki umat
manusia bahwa ‘tak ada yang
mengetahui hamba Allah yang suci
atau ‘maksum’, kecuali Allah sendiri.’
Khalifah bathin
Kekhalifahan bathin, karena harus
mempunyai syarat kewalian dalam
pengertian bathin, tak mungkin
dijatuhkan kecuali kepada orang
mukmin yang bertakwa dan dicintai
Allah (Surat Yunus 62-64).
Kekhalifahan bathin atau jabatan
Waliyyul Mursyid (pemimpin
rohani) adalah mereka yang
mempunyai ilmu dan karakter
(kurang-lebih) seperti Nabi Khidir di
dalam Surat Al Kahfi. Hikmah tidak
disebutkannya kata 'Nabi Khidir' juga
boleh jadi mengisyaratkan setiap
zaman akan ada manusia yang
terpilih seperti itu.
Didalam sejarah tarekat kaum Sufi,
para Wali Mursyid sebagian
besarnya adalah keturunan Ali dari
Fatimah baik melalui Hasan dan
Husain. Menurut kaum Sufi
memaksakan kekhalifahan zhahir
hanya untuk keluarga Ali adalah
suatu yang musykil/mustahil karena
bila menolak 3 khalifah sebelumnya
(yang telah disetujui oleh mayoritas)
berarti membuat perpecahan dalam
umat Islam, juga bertentangan
dengan prinsip akal sehat, karena
boleh jadi seorang kurang ber-
taqwa tapi dalam hal pemerintahan
sangat cakap. Sedangkan seorang
yang ber-taqwa justru mungkin
saja tidak menguasai masalah
pemerintahan.
Bila menganggap Imamah adalah
Khalifah Bathin mungkin saja bisa,
tapi membatasi hanya 12
bertentangan dengan banyak hadits
shahih tentang para Wali Allah yang
tidak pernah disebut dari keluarga
tertentu, apalagi dengan
pembatasan jumlahnya. Idealnya
memang seorang Khalifah zhahir
(Waliyyul Amri) dipilih dari mereka
yang juga menjabat Khalifah bathin
(Waliyyul Mursyid). Tapi
pertanyaannya siapakah yang
mengetahui Wali-wali Allah, apalagi
yang berderajat Waliyyul Mursyid,
kalau bukan Allah sendiri.
Perkembangan Ahlul Bait
Setelah wafatnya Muhammad
Berkembangnya Ahlul-Bait
walaupun sepanjang sejarah
kekuasaan Bani Umayyah dan Bani
Abbasiyah mengalami penindasan
luar biasa, adalah berkah dari do’a
Muhammad kepada mempelai
pengantin Fatimah putri beliau dan
Ali di dalam pernikahan yang sangat
sederhana.
Doa Nabi SAW adalah,”Semoga
Allah memberkahi kalian berdua,
memberkahi apa yang ada pada
kalian berdua, membuat kalian
berbahagia dan mengeluarkan
dari kalian keturunan yang
banyak dan baik ”
Setelah mengalami titik noda paling
kelam dalam sejarah Bani Umayyah,
dimana cucu Nabi SAW, al-Husain
bersama keluarga dibantai di
Karbala, pemerintahan berikutnya
dari Bani Abbasiyah yang
sebetulnya masih kerabat
(diturunkan melalui Abbas bin
Abdul-Muththalib) tampaknya juga
tak mau kalah dalam membantai
keturunan Nabi SAW yang saat itu
sudah berkembang banyak baik
melalui jalur Ali Zainal Abidin satu-
satunya putra Husain bin Ali yang
selamat dari pembantaian di Karbala,
juga melalui jalur putra-putra Hasan
bin Ali.
Setelah berakhirnya Bani
Abbasiyah
Perkembangan di berbagai
negara
Menurut berbagai penelaahan
sejarah, keturunan Hasan bin Ali
banyak yang selamat dengan
melarikan diri ke arah Barat hingga
mencapai Maroko. Sampai
sekarang, keluarga kerajaan Maroko
mengklaim keturunan dari Hasan
melalui cucu beliau Idris bin
Abdullah, karena itu keluarga
mereka dinamakan dinasti
Idrissiyyah.[6] Selain itu pula,
ulama-ulama besar seperti Syekh
Abu Hasan Syadzili Maroko (pendiri
Tarekat Syadziliyah) yang nasabnya
sampai kepada Hasan melalui
cucunya Isa bin Muhammad.
Mesir dan Iraq adalah negeri yang
ulama Ahlul Baitnya banyak dari
keturunan Hasan dan Husain. Abdul
Qadir Jaelani seorang ulama yang
dianggap sebagai Sufi terbesar
dengan julukan ‘Mawar kota
Baghdad’ adalah keturunan Hasan
melalui cucunya Abdullah bin Hasan
al-Muthanna.
Persia hingga ke arah Timur seperti
India sampai Asia Tenggara
(termasuk Indonesia) didominasi
para ulama dari keturunan Husain
bin Ali. Bedanya, ulama Ahlul Bait di
tanah Parsi banyak dari keturunan
Musa al-Kadzim bin Ja'far ash-
Shadiq seperti Ayatullah Ruhollah
Khomeini karena itu ia juga bergelar
Al-Musawi karena keturunan dari
Imam Musa al-Kadzim, sedangkan
di Hadramaut (Yaman), Gujarat dan
Malabar (India) hingga Indonesia
ulama Ahlul Baitnya banyak dari
keturunan Ali Uraidhi bin Jafar ash-
Shadiq terutama melalui jalur Syekh
Muhammad Shahib Mirbath dan
Imam Muhammad Faqih
Muqaddam ulama dan sufi terbesar
Hadramaut di zamannya (abad
12-13M).
Walaupun sebagian besar keturunan
Ahlul Bait yang ada di Nusantara
termasuk Indonesia adalah dari
Keturunan Husain bin Ali namun
terdapat juga yang merupakan
Keturunan dari Hasan bin Ali,
bahkan Keturunan Hasan bin Ali
yang ada di Nusantara ini sempat
memegang pemerintahan secara
turun temurun di beberapa
Kesultanan di Nusantara ini yaitu
Kesultanan Brunei, Kesultanan
Sambas dan Kesultanan Sulu
sebagaimana yang tercantum dalam
Batu Tarsilah / Prasasti dan
beberapa Makam dan juga
Manuscript yang tersebar di Brunei,
Sambas (Kalimantan Barat) dan Sulu
(Selatan Filipina)yaitu melalui jalur
Sultan Syarif Ali (Sultan Brunei ke-3)
yang merupakan keturunan dari
Syarif Abu Nu'may Al Awwal.
Sementara dari keturunan [Husain
bin Ali] memegang kesultan di Jawa
bagian barat, yang berasal dari
[Syarif Hidayatulah] yaitu
[Kesultanan Cirebon] (yang
kemudian pecah menjadi tiga
kerajaan, Kesultanan Kasepuhan,
Kanoman dan Kacirebonan) dan
[Kesultanan Banten]. Sebagai
kerurunan Syarif Hidayatulah
keturunan merekapun berhak
menyandang gelar Syarif/Syarifah,
namun dari keturunan [Syarif
Hidayatullah] gelar tersebut akhirnya
dilokalisasi menjadi Pangeran,
[Tubagus]]/Ratu (Banten),Raden
(Sukabumi, Bogor),Ateng (Cianjur),
Aceng (Garut)
Mazhab yang dianut
Mazhab yang dianut para ulama
keturunan Husain pun terbagi dua;
di Iran, Iraq dan sekitarnya
menganut Syi’ah, sedangkan di
Yaman, India hingga Indonesia
menganut Sunni yang condong
kepada tasawuf). Para ulama
keturunan Hasan dari Mesir hingga
Maroko hampir semuanya adalah
kaum Sunni yang condong kepada
tasawuf.
Referensi
1. ^ AL-ALBANI, M. Nashiruddin;
Ringkasan Shahih Muslim.
Jakarta: Gema Insani Press, 2005.
ISBN 979-561-967-5. Hadist no.
1656
2. ^ AL-ALBANI, M. Nashiruddin;
Ringkasan Shahih Muslim.
Jakarta: Gema Insani Press, 2005.
ISBN 979-561-967-5. Hadist no.
1657
3. ^ karamallahu wajhah
4. ^ Syi'ah dalam Sunnah, Mencari
Titik Temu yang terabaikan;
Mudarrisi Yazdi; hal. 28
5. ^ Syi'ah dalam Sunnah, Mencari
Titik Temu yang terabaikan;
Mudarrisi Yazdi; hal. 29
6. ^ ( e n ) Genealogi Raja Maroko
di Royal Ark

Tidak ada komentar: