Rabu, Desember 08, 2010

Definisi Shaum

1. Ta’rif (Definisi) Ash-
Shaum
Secara Etimologi /
Lughawi
Secara lughowi (bahasa)
Ash-Shaum ( الصَّوْمُ)
bermakna (الإِمْسَاكُ)
yang artinya menahan.
Atas dasar itu berkata Al-
Imam Abu ‘Ubaid dalam
kitabnya Gharibul Hadits :
كُلُّ مُمْسِكٍ عَنْ كَلاَمٍ أَوْ
طَعَامٍ أَوْ سَيْرٍ فَهُوَ
صَائِمٌ
“ Semua orang yang
menahan diri dari
berbicara atau makan,
atau berjalan maka dia
dinamakan Sha`im (orang
yang sedang bershaum)
. ” [1])
Hal ini sebagaimana
disebutkan dalam firman
Allah Ta ’ala :
) إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ
صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ
إِنْسِيًّا ) مريم: ٢٦
“ Sesungguhnya aku telah
bernadzar shaum untuk
Ar-Rahman, maka aku
tidak akan berbicara
dengan seorang
manusiapun pada hari
ini ” [Maryam : 26]
Shahabat Anas bin Malik
dan Ibnu ‘Abbas
radiyallahu ‘anhuma
berkata : صَوْمًا
maknanya adalah صَمْتًا
yaitu menahan diri dari
berbicara. [2])
Secara Terminologi /
Ishthilah
‘Ibarah (ungkapan) para
‘ulama berbeda dalam
mendefinisikan ash-
shaum secara tinjauan
syar ’i, yang masing-
masing definisi tersebut
saling melengkapi.
Sehingga kami pun
sampai pada kesimpulan
bahwa definisi ash-shaum
secara syar`i adalah :
إِمْسَاكُ الْمُكَلَّفِ عَنِ
اْلمُفَطِّرَاتِ بِنِيَّةِ
التَّعَبُّدِ للهِ مِنْ طُلُوعِ
اْلفَجْرِ إِلَى غُرُوبِ
الشَّمْسِ
Usaha seorang mukallaf
untuk menahan diri dari
berbagai pembatal ash-
shaum disertai dengan
niat beribadah kepada
Allah, dimulai sejak
terbitnya fajar sampai
terbenamnya matahari.
Penjelasan definisi
1. Pernyataan “al-
mukallaf” menunjukkan
bahwa ash-shaum secara
syar ’i adalah yang
dilakukan oleh para
mukallaf yaitu orang-
orang yang telah terkenai
kewajiban ibadah, dari
setiap muslim yang sudah
baligh dan sehat akalnya.
[3]
2. Pernyataan “dengan
disertai niat beribadah
kepada Allah ”
menunjukkan bahwa ash-
shaum harus disertai
dengan niat shaum
sebagai sebuah bentuk
ibadah kepada Allah
Ta ’ala.
3. Pernyataan “dimulai
sejak terbitnya fajar
sampai terbenamnya
matahari ”
) وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى
يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ
الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ
الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ
أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى
اللَّيْلِ)البقرة: ١٨٧
Dan makan minumlah
kalian hingga jelas bagi
kalian benang putih dari
benang hitam, yaitu
(cahaya) fajar. Kemudian
sempurnakanlah shaum
itu sampai (datangnya)
malam. [Al-Baqarah :
187]
Footnote :
[1] Gharibul Hadits
(I/325-326, 327). Lihat
Subulus Salam karya Ash-
Shan ’ani, awal Kitabush
Shiyam.
[2] Lihat Tafsir Ibni Katsir
tafsif surat Maryam ayat
26.
[3] Lihat hukum shaum
bagi anak-anak yang
belum baligh pada
halaman
2. Sejarah Turunnya
Perintah Shaum
Ramadhan
Awal turunnya kewajiban
shaum Ramadhan adalah
pada bulan Sya ’ban tahun
kedua Hijriyah, atas dasar
ini para ulama berijma ’
bahwa Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam
menunaikan ibadah
shaum Ramadhan selama
hidupnya sebanyak
sembilan kali. ([1])
Ibnul Qayyim
mengatakan dalam Zadul
Ma ’ad, bahwa
difardhukannya shaum
Ramadhan melalui tiga
tahapan :
1. Kewajibannya yang
bersifat takhyir (pilihan).
2. Kewajiban secara Qath’i
(mutlak), akan tetapi jika
seorang yang shaum
kemudian tertidur
sebelum berbuka maka
diharamkan baginya
makan dan minum
sampai hari berikutnya.
3. Tahapan terakhir, yaitu
yang berlangsung
sekarang dan berlaku
sampai hari kiamat
sebagai nasikh
(penghapus) hukum
sebelumnya.([2])
Tahapan awal
berdasarkan firman Allah
Ta ’ala :
( وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ
فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ
خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ
لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
) البقرة: ١٨٤
Artinya : ”Dan wajib bagi
orang yang berat untuk
menjalankan ash-shaum
maka membayar fidyah
yaitu dengan cara
memberi makan seorang
miskin untuk setiap
harinya. Barang siapa
yang dengan kerelaan
memberi makan lebih
dari itu maka itulah yang
lebih baik baginya dan
jika kalian melakukan
shaum maka hal itu lebih
baik bagi kalian jika
kalian
mengetahuinya. ” [Surat
Al-Baqarah 184]
Berkata Al-Hafizh Ibnu
Katsir :
“ Adapun orang yang
sehat dan mukim (tidak
musafir-pen) serta
mampu menjalankan
ash-shaum diberikan
pilihan antara
menunaikan ash-shaum
atau membayar fidyah.
Jika mau maka dia
bershaum dan bila tidak
maka dia membayar
fidyah yaitu dengan
memberi makan setiap
hari kepada satu orang
miskin. Kalau dia
memberi lebih dari satu
orang maka ini adalah
lebih baik baginya. ”([3])
Ibnu ‘Umar radiyallahu
‘anhuma ketika
membaca ayat ini فِدْيَةٌ
طَعَامُ مِسْكِينٍ
mengatakan : “bahwa
ayat ini mansukh
(dihapus hukumnya-pen)
” .([4])
Dan atsar dari Salamah
ibnu Al-Akwa ’ tatkala
turunnya ayat ini
berkata :
“ Barangsiapa hendak
bershaum maka silakan
bershaum dan jika tidak
maka silakan berbuka
dengan membayar
fidyah. Kemudian
turunlah ayat yang
berikutnya yang
memansukhkan
(menghapuskan) hukum
tersebut di atas. ” ([5])
Secara dhahir, ayat ini
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ
فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
mansukh (dihapus)
hukumnya dengan ayat
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ
فَلْيَصُمْهُ sebagaimana
pendapat jumhur ulama
([6]).
Tetapi dalam sebuah
atsar Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhuma,
beliau berkata :
“ Ayat ini bukanlah
mansukh melainkan
rukhshoh (keringanan)
bagi orang tua (laki-laki
maupun perempuan)
yang lemah supaya
memberi makan seorang
miskin untuk setiap
harinya. ” ([7])
Berkata Al-Hafizh Ibnu
Katsir :
“ Kesimpulan bahwa
mansukhnya ayat ini
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ
فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
adalah benar yaitu
khusus bagi orang yang
sehat lagi mukim dengan
diwajibkannya ash-shaum
atasnya. Berdasarkan
firman Allah فَمَنْ شَهِدَ
مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْه
Adapun orang tua yang
lemah dan tidak mampu
bershaum maka wajib
baginya untuk berifthor
(berbuka) dan tidak ada
qadha` baginya”.([8])
Dan inilah tahapan kedua.
Tetapi jika seseorang
bershaum kemudian
tertidur di malam harinya
sebelum berbuka maka
diharamkan baginya
makan, minum dan jima’
sampai hari berikutnya.
Tahapan ini kemudian
mansukh (dihapuskan)
hukumnya berlandaskan
hadits Al Barra ’
radiyallahu ‘anhu:
كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ r إِذَا كَانَ
الرَّجُلُ صَائِمًا فَحَضَرَ
اْلإِفْطَارُ فَنَامَ قَبْلَ أَنْ
يُفْطِرَ لَمْ يَأْكُلْ لَيْلَتَهُ
وَلاَ يَوْمَهُ حَتَّى يُمْسِيَ
وَإِنَّ قَيْسَ بْنَ صِرْمَةَ
الأَنْصَارِي كَانَ صَائِمًا
فَلَمَّا حَضَرَ اْلإِفْطَارُ أَتَى
اِمْرَأَتَه فَقَالَ لَهَا : أَعِنْدَكِ
طَعَامٌ ؟ قَالَتْ : لاَ لكِنْ
أَنْطَلِقُ فَأَطْلُبُ لَكَ –
وَكَانَ يَوْمَهُ يَعْمَلُ
فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ- فَجَاءَتْ
اِمْرَأَتُهُ فَلَمَّا رَأَتْهُ
قَالَتْ : خَيْبَةً لَكَ ! فَلَمَّا
اِنْتَصَفَ النَّهَارُ غُشِيَ
عَلَيْهِ فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِي
r فَنَزَلَتْ هَذِهِ اْلأَيَةُ : (أُحِلَّ
لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ
الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ
) فَفَرِحُوا بِهَا فَرْحًا
شَدِيْدًا فَنَزَلَتْ (وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ
لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ
الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ
الْفَجْرِ) ]رواه البخاري
وأبو داود ]
Artinya :
“ Dahulu Shahabat
Rasulullah Shallallahu
‘ alaihi wasallam jika salah
seorang di antara mereka
shaum kemudian tertidur
sebelum dia berifthar
(berbuka) maka dia tidak
boleh makan dan minum
di malam itu dan juga
siang harinya sampai
datang waktu berbuka
lagi. Dan (salah seorang
shahabat yaitu), Qois bin
Shirmah Al Anshory
dalam keadaan shaum,
tatkala tiba waktu
berbuka, datang kepada
istrinya dan berkata :
apakah kamu punya
makanan ? Istrinya
menjawab : “Tidak, tapi
akan kucarikan untukmu
(makanan). ” – dan Qois
pada siang harinya
bekerja berat sehingga
tertidur (karena
kepayahan)- Ketika
istrinya datang dan
melihatnya (tertidur) ia
berkata : ” Rugilah
Engkau (yakni tidak bisa
makan dan minum
dikarenakan tidur
sebelum berbuka- pen) !”
Maka ia pingsan di tengah
harinya. Dan ketika
dikabarkan tentang
kejadian tersebut kepada
Rasulullah shalallahu
‘ alaihi wasallam, maka
turunlah ayat :
) أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ
الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ (
“Telah dihalalkan bagi
kalian pada malam hari
bulan shaum (Ramadhan)
untuk
berjima ’ (menggauli) istri-
istri kalian.”
dan para shahabat pun
berbahagia sampai
turunnya ayat yang
berikutnya yaitu :
) وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى
يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ
الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ
الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ (
“Dan makan serta
minumlah sampai jelas
bagi kalian benang putih
dari benang hitam, yaitu
Fajar. ”
[HR. Al-Bukhari dan Abu
Dawud] ([9])
Footnote :
[1] Lihat Kitab Taudhiihul
Ahkam, Kitabush shiyam
Jilid 3 hal 123 (secara
makna).
[2] Lihat Zadul Ma ’ad
Kitabus Shiyam jilid 2
hal.20
[3] Tafsir Ibnu Katsir jilid
1, hal. 180 (Surat Al-
Baqarah ayat 184)
[4] Al-Bukhari Kitabut
Tafsiir hadits no.4506.
[5] Al-Bukhari Kitabut
Tafsir hadits no.4507;
Muslim Kitabush Shiyam
hadist no. 149 – [ 1145 ]
dan Abu Dawud Kitabush
Shiyam, bab 2, hadist
no.2312
[6] Lihat Syarh Shahih
Muslim An-Nawawi :
Kitabush Shiyam hadits
no. 149 – [ 1145 ]
[7] Al-Bukhari Kitabut
Tafsir hadits no. 4505
[8] Lihat Tafsir Ibnu Katsir
(II/281) dalam
menafsirkan QS Al-
Baqarah : 183 -185.
Peny : Sehingga dengan
ini, ayat (… وَعَلَى الَّذِينَ
يُطِيْقُونَهُ فِدْيَةٌ ) masih
tetap berlaku hukumnya
orang yang lanjut usia
dan tidak mampu untuk
bershaum, dengan cara
membayar fidyah.
Namun bagi orang yang
muda belia yang muqim
(tidak musafir) tetap
wajib atasnya ash-shaum.
[9] Al-Bukhari Kitabush
Shaum hadits no. 1915
dan Abu Dawud Kitabush
Shiyaam, bab 1, hadits no.
2311.
Sumbernya saya dapat
dari sini
Categories: Artikel, Fiqh
islam, Islam, Nasihat, Tips
dan Trik
Tags: definisi, sejarah,
shaum

Tidak ada komentar: